Antara Nonton, Pertemuan, Kerinduan dan Problematika di Dalamnya

Setahun tak jumpa, Amirul Haq berinisiatif mengajak saya nonton ke bioskop. Mendengar kata ‘nonton’, otak saya seperti keluar menuliskan judul-judul film yang sedang panas-panasnya baru-baru ini, mungkin lebih panas saat melihat mantanmu sudah punya pacar baru. Baik, perlu saya perkanalkan dulu teman saya satu ini. Ia sobat seperjuangan saya saat masih seragam putih hijau—seragam sekolah kami. Ia mengabdi sebagai mahasiswa ke Bandung. Sekarang  ia sudah wisuda, dan diberikan kesempatan balik ke Cirebon. Cepat lulus memang ketimbang saya  karena ia hanya mengambil kuliah 3 tahun minimal, lulus tepat waktu. Selamat.

Ini bukan tulisan khusus tentang dia, jadi perkenalnya cukup sampai di sini saja, kalau ingin kenal tanya saja pada saya,  soal ia masih jomblo atau sudah punya pacar, urusan nanti! Oke, sampai di mana tadi. Oya, mengajak nonton film. Sedikit menggelitik memang, dari zaman main mobil tamiya sampai tergopoh-gopoh memikirkan judul proposal sekarang, saya baru diajak nonton oleh makhluk lelaki. Biasanya saya lebih menyukai nonton seorang diri, di kamar tentunya. Tawaran sudah saya sepakati, besoknya kami bertemu.

Akhirnya setelah merencanakan tempat pertemuan, kami berjumpa di CSB Mall. Waktu saat itu, hari masih tidak terlalu siang tapi udara sudah sangat panas. Inilah momen yang ditunggu-tunggu dari sebuah pertanyaan. “Kita mau nonton apa?” apa jawab dia? “Nonton yang laki aja, Civil War gitu.” Baiklah, kejantanan dan rasa gengsi dia masih berbanding lurus.  Tapi apalah daya, pikiran dan penasaran tidak bisa dibohongi.  Jeda ucapan sampai beberapa meter lagi menuju pintu XXI, berubah derastis, “eh, nonton AADC aja gimana?” hati saya ikut girang.

Kegirangan akan nonton AADC 2 bukan hanya perihal nonton, tahu jalan cerita, bergalau, atau melihat adegan lanjutan ciuman Rangga dengan Cinta, tapi kengirian saya melihat artikel-artikel tentang film yang dinanti setelah 14 tahun ini. Ulasan, pujian, kritikan, sampai mentai-taikan film ini membuat saya ingin mereview kembali setelah menontonnya. Bagi para penulis yang punya mantan kekasih, adanya film yang fenomenal itu seperti  bertemu seseorang yang pernah dicintainya itu. Ada seribu kemungkinan ia akan bersikap sesuatu.

Jadi sepakat, kami berniat nonton AADC 2. Setelah masuk dan melihat jadwal serta harganya, mata Amir macam kepala kura-kura masuk ke cangkangnya. Harga tiket 50 ribu dan ia lupa bahwa ini hari libur. Sebagai lelaki yang berniat mencari pekerjaan dan saya yang masih berlabel mahasiswa, kondisi ini tak perlu dijelaskan panjang lebar lagi, kami orang yang simple dan tidak berbelit-belit. Tempat nonton kami ubah. “Ke Grage aja yu!?” katanya. Akhirnya dengan bermodal motor matik, kami sampai ke Grage.

Harga tiket AADC 2 di Grage cukup bikin dompet tersenyum memang, hanya 35 ribu. Tapi apalah daya harga apabila melihat antrean  seperti pemandang mobil-mobil di pintu gerbang tol Cikampek saat mendekati hari lebaran. Dan mobil-mobil  itu adalah kaum perempuan. Melihat kenyataan ini, dan melihat sikap Amir, saya tidak tahu apa yang dia pikirkan. Barangkali rasa gengsi kembali diuji. Saya tahu, saya memang tidak menyukai keramaian begitu juga dengan dia. “Gila antri, cewe semua lagi.  Cari makan saja yu..” karena jadwal tayang sekitar sejam lagi, saya ikuti kemauannya.

Kondisi seperti ini akhirnya saya mengambil hipotesis, pertama, saya bisa menonton film, dan kedua saya tidak bisa menonton film. Hadeuh, hipotesis macam apa ini. “Niat saya kan bukan nonton, tapi ketemu elu, bray.” Katanya sesampai di tempat target nongkrong kami. Hmm kalau ini pacar saya sudah saya peluk! Saya tahu maksud dia, ajakan menonton ini hanya alasan dia menumpahkan kerinduan kepada saya. Jangan berpikir macam-macam dulu,  dua makhluk lelaki pun bisa saling merindukan juga. Yang perlu digaris bawahi, kami masih normal!

Es capucino menemani perbincangan kami. Sepakat, hari itu tidak jadi nonton. Pertemuan dua lelaki dengan stabilitas kegalauan yang masih rentan telah menuntaskan janji-janji sebelumnya yang batal untuk bertemu. Batal nonton, tidak jadi persoalan juga bagi saya, toh saya tetap masih bisa nulis. Sesampai Capucino ini habis, topik perbincangan juga dikiranya telah usai. Di sebelah kiri meja kami, seorang perempuan begitu anggun melayani pesanan fried chiken para pembeli. “Jadi, Ri, lu udah punya pacar belum?”


Kepada Amirul Haq yang telah menghadiahkan sandal saya menjadi putus

Posting Komentar

0 Komentar