Suatu saat Nanti, jangan Selalu Berkawan dengan Sunyi


Sekarang saya sedang menulis, di sebuah kamar yang dikelilingi rak-rak buku, pintu kamar tertutup rapat, anggota keluarga sudah tidur pulas, di samping tersuguh secangkir kopi, suasana sunyi dan hening. Suasana seperti ini membuat saya enggan beranjak dari layar laptop. Bahkan apabila ada sesuatu yang menganggu, buku-buku di samping saya bakal nyaris melayang mengenai peganggu tersebut. Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa bagi saya, keheningan dan kesunyian bukan berarti tanpa suara atau apapun itu, melainkan kondisi kenyamanan saya ketika menulis. Bahkan kini saya sedang menulis sambil mendengarkan lagu Forgive Me, Maher Zein.

Ada ungkapan bahwa penulis hanya berteman dengan waktu. Dan ketika menulis, kesunyian selalu menjadi teman saya. Dia yang mengerti apa yang sedang saya rasakan. Sebab kepribadian seseorang pastilah berbeda-beda. Saya orang yang sangat sulit untuk mengadaptasikan atau mengendalikan suasana hati. Seharian ini, suasana hati dan pikiran saya sedikit kacau dan itu membuat fokus saya menjadi terganggu ketika melakukan suatu hal. Dan ketika bertemu teman saya yang bernama sunyi, segalanya seperti menyuruput es sirup ketika berbuka puasa.

Mengapa saya menulis tentang teman saya satu ini, teringat saudaranya yang bernama kegaduhan, keramaian, yang berarti suasana ketidaknyamanan. Inilah yang membuat saya menjadi terganggu. Pagi tadi, di kampus, saya bertemu dengannya. Bagaimana bisa bertemu? Sedikit akan saya ceritakan. Di kampus, akhir-akhir ini mahasiswa sibuk dengan berbagai lomba, atau kerennya, fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan sedang mengadakan festival seni dan budaya, yang di dalamnya disuguhi beraneka macam lomba. Yang bagi sebagian mahasiswa, acara ini sedikit menyita waktu libur mereka yang seharusnya sudah berada di tanah kelahiran.

Di antara lomba yang diadakan, saya  diajukan untuk mendaftar lomba karya tulis. Singkatnya, saya mengiyakan. Dalam lomba tersebut, rupanya terdapat design atau peraturan yang berbeda. Kontestan yang mengikuti lomba, atau bahan tulisan yang dilombakan ditulis dengan on the spot, ditulis pada hari lomba. Yang pikiran saya tentu berhamburan membayangkan suatu tempat, di mana terdapat kegaduhan, keramaian, suasana yang membuat saya ingin melemparkan sebuah buku ketika kenyamanan saya terganggu. Namun dalam hati terdalam, ada kesempatan saya harus melawannya.

Tema atau topik yang diberikan panitia terdapat lima topik dan peserta memilih secara acak pada hari lomba. Baiklah meski panitia memberikan kemudahan untuk membuat outline sebagai bahan pokok tulisan, entah kenapa saya mengabaikannya. Barangkali ketidakbiasaan saya ketika sedang UAS, ada rasa takut saat membawa contekan. Atau ketika UAS dengan metode open book, saya malah lebih memilih open my heart. Di hari akan lomba, pada akhirnya saya tidak membawa outline.

Melihat peserta lain membawa outline, saya jadi merasa tidak enak diri juga apabila tidak membawa outline yang ditulis pada selembar, eh mungkin berlembar-lembar kertas. Agar terlihat mengikuti mayoritas, maka saya mengeluarkan secarik kertas hanya sekitar seukuran satu per enam kertas polio. Karena saya mendapatkan topik Bela Negara dan Wajib Militer, tentu ingat yang saya tulis hanya nama Menteri Pertahanan dan tahun-tahun Negara lain yang sudah melaksanakan program bela Negara dan wajib militer itu. Sebenarnya tidak perlu ditulispun masih ingat, tapi ini pilihan saya barangkali sejauh ini saya sedikit lemah dalam mengingat nama.

Waktu menulis yang diberikan selama enam puluh menit, di sebuah ruangan, yang telingaku terus mendengar obrolan-obroalan di dalamnya, sebuah bel, sebuah suara pertanda waktu lomba, panitia yang berjalan-jalan mengawasi apa yang sedang saya tulis, seperti pengawas ujian yang menganggu siswa yang sedang berusaha konsentrasi mengisi soal. Jika ada buku di samping komputer itu, mungkin sudah melayang. Bahan materi yang sudah saya baca seperti melayang mencari kesunyian yang tiada temu. Andai saat lomba diperbolehkan mendengarkan musik, membawa secangkir kopi (bulan puasa padahal), mungkin sedikit menemukan jalan kesunyian itu.

Ini tantangan dan saya harus melewatinya. Menulis dengan dibatasi dengan waktu, sudah sering saya temui. Sebagai seorang pers kampus, deadline tulisan tetaplah selalu bertemu. Tapi untuk menyelesaikan itu, saya tetap mencari sebuah kesunyian biarpun bahan sudah ada berupa rekaman. Begitulah caraku berekspresi. Tapi akhirnya, saya bersyukur menemukan teman dari teman saya ini. Saya mencoba melawannya dengan cara saya sendiri. Kemudahan yang diberikan orang lain terkadang dikalahkan dengan ego, ego untuk mengetahui bagaimana capaian saya selama ini. Barangkali, suatu saat nanti, saya jangan melulu berkawan dengan sunyi.

Posting Komentar

0 Komentar