Dapur Berasap, yang Beraroma Setahun yang Lalu





Menjelang Hari Raya Idul Fitri hanya tinggal menghitung jari, dapur-dapur di rumah kampung kami sangat sibuk mengeluarkan asap. Asap-asap yang masih beraroma setahun yang lalu. Masih ingat dan selalu mengingatnya. Sama ingatnya seperti kamu mencium parfum yang dipakai mantanmu dulu. Dan bagi saya, asap-asap ini sebagai makhluk pemanggil rindu para perantau yang segera pulang ke kampung halamannya.
Tahun ini, saya akan bertemu lebaran ke dua puluh satu selama saya tinggal di dunia dan kampung tercinta. Selama itu pula saya tinggal bersama ibu. Bapak, giat bekerja banting tulang di tanah rantau. Begitu pun dengan ke empat saudara saya. Mending, bapak sering pulang sekitar dua bulan sekali, sedang kakak-kakak saya bisa dihitung dengan satu telunjuk. Jadi, selain menyambut lebaran, saya dan ibu juga menyambut mereka. Dan asap-asap dari hawu ini adalah buktinya.
Biji katapang, ronge-ronge atau rempeyek atau apalah itu namanya, mungkin di daerah Kawan ada sebutan lain? Tapi di kampong kami menyebutnya ronge-ronge. Ya makanan-makanan itu menjadi tradisi bagi para ibu-ibu rumah tangga berbondong-bondong membuatnya. Setiap rumah tidak pernah ada yang tidak membuat. Buktinya seperti pengalaman lebaran-lebaran kemarin. Ketika saya silaturahmi secara estafet dari rumah ke rumah, di ruang tamu selalu disuguhi ronge-ronge.
Keler, toples, atau kaleng bekas kue menjadi kediaman bagi penghuni makhluk ronge-ronge itu. Jika ada rumah yang tidak membuatnya, lebaran seperti hambar, kurang afdol. Terlebih nanti ditanya oleh perantau yang sudah pulang, ndak gawe ronge-ronge? Teu nieung ronge-ronge? Jadi mau tidak mau harus bikin. Gengsi. Ronge-ronge merubah segalanya.
Cara membuatnya mungkin sederhana tapi agak ribet. Hanya dengan beras yang sudah digiling, aci, dan ditaburi su’uk, atau kacang putih. Menjelang lebaran, tukang gilingan jadi rame. Biasanya ibu-ibu sering membuatnya menggunakan hawu, bukan kompor. Alasannya sederhana, irit dan cepat, dan alasan yang saya tambahkan adalah; agar dapur-dapur mengeluarkan asap.
Syahdan, ada makanan yang tak bisa dipisahkan yang merupakan simbol dari hari raya, betul sekali, ketupat atau kami akrab menyebutnya kupat. Sudah, untuk membuat kupat dari janur ini tidak akan saya jelaskan karena sampai sekarang saya masih belum bisa membuatnya. Untuk sekarang biar saya bersahabat dulu dengan asap. Yap, masak kupat memang butuh waktu lama. Bisanya kami mulai masak menjelang malam, esok paginya tinggal matang.
Seperti yang sudah dijelaskan, hawu menjadi peran penting dalam dunia masak-memasak menjelang lebaran ini. Berbeda saat membuat ronge-ronge, untuk membuat kupat diperlukan perhatian lebih. Suluh-suluh harus cukup persediaan dan api tetap terus berkibar. Mungkin ini kenapa membuatnya tengah malam, agar orang-orang tak terganggu dengan asap-asapnya, biarlah aromanya saja.
Dari tahun ke tahun, kebiasaan ini terus berlangsung dan semoga tetap. Sebab ada kisah dan cerita menarik tersendiri. Namun dari kisah menarik itu pastilah ada hal-hal yang kurang lengkap. Sejak saya masih kecil, kakak-kakak masih di rumah, ada kebersamaan dalam membuat ronge-roeng dan kupat saat menyambut hari raya. Sekarang, ke empat kakak, yang semuanya lelaki kini sudah berumah tangga. Mereka telah memiliki keluarga masing-masing. Di kampung kami, kebanyakan, lelaki (suami) akan memilih tinggal di kampung sang perempuan (istri). Entah kenapa apakah ini sudah menjadi tradisi.
Saat hari haya, terkadang keluarga kami tak semuanya bisa kumpul lengkap. Tapi mereka akan datang setelah satu, dua, tiga hari, atau lebih dari hari raya.  Meski begitu, kami—saya, ibu, dan bapak—selalu dan harus menyembutnya. Ini adalah momen silaturahmi. Meski ada hari-hari lain, tapi hari apakah itu? Hari dimana antara keluarga kami harus ada yang hajatan? Entah sampai sekarang belum lagi menemukan hari yang tepat selain itu.
Yang saya rindukan hanyalah kebersamaan di dapur bersama sebelum lebaran, menikmati aroma-aroma masakan, melaksanakan taraweh terakir bersama, takbiran bersama, dan kumpul silaturahmi di hari yang sama; hari raya.

Posting Komentar

0 Komentar