Diary: Maaf, Aku Harus Melepasmu!



Kawan! Malam ini semakin mencekam, larut dalam keheningan. Detakan jam terdengar jelas, menyentuh indera pendengaran. Mataku pun larut dalam larik-larik sajak di atas kertas putih bergaris ini. Diselimuti lampu neon di atas meja belajarku. Aku terus menarikan penaku, di buku harianku ini. Entah kenapa, kini tulisanku tak seperti biasanya, bahkan aku sendiri hampir tak bisa membaca. Goresan pena dan pikiranku selalu berlomba-lomba, akhrinya tulisan tampak seperti benang kusut. Apakah hatiku sama seperti apa yang telah kutuliskan itu? Entahlah, kuharap tidak!
Ya, aku sangat bahagia, ketika Tuhan mempertemukan aku dengan seseorang gadis. Semula berawal dari sebuah tatapan mata pertama, saat itu aku meraskan getaran yang tidak biasa di hatiku, saat pertama kali kuberkenalan dengannya, lewat sebuah tulisan singkat di layar handphone. Entah kenapa walaupun bercakap melalui sebuah kotak kecil bercahaya, aku merasakan bahwa dirinya berada di hadapanku. Inikah yang dinamakan cinta, sebuah rasa yang pertama kali aku rasakan pada seseorang yang asing dalam hatiku. Aku merasakan begitu indahnya cinta. Seperti inikah rasanya. Di mana dua hati yang berbeda menjadi bersatu dalam padu. Setiap saat terselip jutaan rindu, saat jarak membentang jauh dari mata, namun hati ini melekat dekat terasa. Sangat dekat. Itu semua saat pertama kali terucap kata cinta. Antara dirinya dan diriku. Hingga akhirnya kau menjadi bagian dari hidupku.
Hari-hari aku lalui bersamanya, tawa dan canda, oh begitu indahnya cinta. Ketika berada di dekatnya, hatiku tak kuasa menari dalam melodi simponi, tetesan butir embun cinta menetes di dinding hatiku. Saat itulah aku membutuhkan cawan kesejukan untuk menampung tetesan cinta itu. Dan ia selalu bersedia menjadi cawan kesejukan dalam hari-hariku. Ia tampung segala isi dalam dadaku. Dalam kebahagian, dalam kesedihanku, ia tak luput akan memberikan senyuman terbaik kepadaku.
Dan senyumanya, ya senyumannya itu selalu menggantung di dalam pikiranku. Setiap saat membayangkan ketika aku berada di sampingnya. Ia selalu menyembuhkan rautan wajah sedihku dengan senyumannya. Lalu aku tersenyum, entah bagaimana senyumnya bagai obat penawar sedihku, penawar rinduku. Ketika aku berada di tempat yang sepi dan sunyi, tiada seorang pun yang bermain kata denganku, bercengkraman denganku. Dan ketika pula jarak jauh membetang dari pandangan, juga raga, aku begitu bahagia, itu semua karena belaian kasih sayangnya, senyumnya, senyuman manisnya, yang terukir di hatiku.
Saat rasa ini kuat melekat antara hatiku dengan hatinya. Aku tak luput memberi perhatian penuh padanya, ketika pagi, siang, sore hingga malam. Ketika aku selalu mengabarimu di pagi buta, mengucapkan selamat menyambut pagi yang indah. Ketika aku selalu mengingatkan ketika malam sudah suntuk waktunya segera tidur. Ketika dirinya alpa belum makan, aku mengingatkan, memberi perhatian, penuh, dengan kasih sayang tulus padanya.
Akan tetapi, aku tidak pernah berjanji bila harus selalu bersamanya. Adakalanya aku akan pergi, atau dirinya yang akan lebih dulu pergi. Yang kulakukan ialah berusaha untuk selalu bersamanya dan membahagiakannya, yang membuat aku akan terus bisa bersamanya, kelak. Karena tidak ada janji sebelum tertulis di atas kertas, akad.
***
Sore itu, sekolah sudah waktunya pulang. Siswa-siswi bertebaran dari pintu gerbang, menuju ke tempat kediamannya masing-masing. Sekolah sudah mulai sepi. Udara panas semakin lenyap. Terasa semilir angin menyapaku. Hatiku terasa tenang dan damai. Lengkap sudah kebahagianku ketika sore itu masih bersamanya. Hari ini dirinya terlihat lebih anggun, jilbab putih yang ia kenakan memanjakan mataku terus memandangnya. Dengan sepeda motorku, aku temani ia pulang bersamaku hingga ke depan pintu rumahnya, atau bahkan lebih, masuk ke dalam rumah istananya, yang kan menjadi harapan impianku, bernaung bersamanya, kelak. Hampir empat bulan lebih hubunganku dengannya bersemi.
Di sebuah ruang tamu, dirumahnya, aku terduduk berdua bersamanya. Kata-kata manis ke luar dari mulutku juga dirinya. Ia berkata, bahwa yang di dalam hatinya hanyalah aku, begitu juga denganku, yang ada dalam hatiku hanyalah dirinya. Kawan! Apakah kata-kata itu benar nyatanya? Dinginnya sore ini menemani kemesraan dua sejoli, menyelimuti dua insan dalam sebuah gubuk cinta. Rumahnya, menjadi bagian tempat perbincangan saat itu, membicarakan yang tak tau apa maksudnya, namun semua itu selalu menghadirkan canda dan tawa di atas sofa merah yang empuk. “Aku sangat mencintaimu,” kata Dwi, dengan nada lembutnya. Kawan! Ya, namanya Dwi. Ia juga adalah adik kelasku.
Di tengah kesibukan tawa, ia hentikan perbincangan sore itu, “sebentar ya, aku kebelakang dulu untuk mengambil minuman.” Lalu ia beranjak meninggalkan ruangan tamu ini. Di saat kepergiannya ke dapur, terlihat handphone-nya tergeletak di sofa, di sampingku yang tengah terduduk. Rasa penasaran dan keingintahuanku hadir untuk memeriksanya. Dengan rasa penuh penasaran itu, aku coba cek beberapa isinya. Mulai dari foto, kontak dan pesan. Akan tetapi, perhatianku penuh memeriksa beberapa pesannya. Dari atas hingga ke bawah, hampir lebih dari empat ratus pesan. Ia belum juga tiba. Aku kembali melanjutkan membaca pesannya.
Ketika kubuka beberapa pesannya, tampak hanyalah pesan dariku, dan dari teman perempuannya. Langit di luar sana sudah semakin gelap, aku masih memainkan handphone-nya di genggamanku. Dan, tahukah kawan! Ketika tiba kubuka pesan di bagian terakhir. Deg! Hatiku berdegup, hatiku seperti disambar petir saat itu juga. Terlihat dari beberapa pesan. Pesan dari seorang pria dan aku pun mengenalinya, pria itu ialah teman sekelasnya.
Sekali lagi, hatiku bagaikan ditusuk duri beracun, bagaikan disayat silet, dan seperti disengat lebah madu. Begitu perih, kawan! Di dalam pesannya itu, tertulis kata-kata mesra pria itu dengan dirinya, “sayang”, bahwa pria, temannya itu tampak begitu mencintainya, Dwi, kekasihku. Aku tidak percaya, ternyata di balik kata mesranya denganku, ia juga merangkaikan kata mesra dengan pria selainku. Mataku mulai berbinar, air mataku seakan meleleh. Namun, aku tolak mentah-mentah! Aku tak mau meneteskan air mataku itu.
Tak lama setelah kubaca pesan itu, dengan hati tertatih, ia kembali ke ruang tamu dengan membawakan segelas minuman. Melihat raut wajahku yang tampak mendung ini, ia merasa heran memandangku tak biasanya. Atau wajahku yang tak biasanya. Tak seperti semula yang masih menggantung sebuah senyuman. Dan kini, memang hati begitu perih, kawan! Ia memandangku dangan wajah heran, tapi aku lebih bingung, aku tak tahu harus berkata apa? Tampak di tanganku masih menggenggam handphone-nya, dan ia sepertinya mulai mengerti, mulai memahami kenapa wajahku mengkerut ini. Terlebih hati!
“Sayang, apa kau membaca pesan itu?” Katanya memulai pembicaraan yang mendarat hingga ke hati nestapaku. Saat itu, aku tidak menjawab, sepatah katapun. Kawan!  Ia lalu berkata bahwa lelaki itu ia anggap hanya sebatas teman. Ya, teman, kawan! Katanya sebatas teman? Ia terus memandangku, memandang dengan penuh penyesalan. Mungkin ia juga menyesal tidak menghapus pesan itu. Aku tak tahu harus bagaimana, tidak perlu penjelasan lagi. Mataku seperti menolak untuk memandangnya. Aku tak percaya, kukira seorang di hadapanku ini yang akan selalu membahagakanku. Lalu di mana kata-kata mesra cintanya yang baru saja mendarat di telingaku? Tapi, sejenak kuberpikir, apa hakku marah? Toh dia bukan siapa-siapa aku? bukan tanggung jawabku! Kawan! Aku bingung apa yang harus kulakukan. Perasaan marah, kesar, sedih, bercampur baur menjadi satu.
Kata-kata maafnya terdengar mendarat di telingaku, sepertinya ia tidak percaya bahwa aku telah membaca pesannya itu. Raut wajahnya mulai mendung, butiran kristal di matanya mulai terjatuh di sela-sela pipinya. Beribu maaf terucap dari bibirnya, sambil menggengam erat tanganku, pegangan yang penuh penyesalan. Sangat kurasakan. “Sayang, maafkan ade, apa yang telah terjadi itu bukanlah yang sebenarnya, ini pasti salah pemahaman,” katanya.
***
Kenyataannya rasa cintaku ini masih ada, masih melekat di dalam hati. Entahlah! Mungkin adanya rasa itulah, aku masih memaafkannya. Cinta memang saling memaafkan. Beberapa bulan aku masih menjalin hubungan dengannya, dengan secercah noda di hati. Akan tetapi, lambat laun, aku semakin tak nyaman dengan semua ini. Tahukah kawan! Selama itu juga, ia masih menjalin komunikasi dengannya, dengan lelaki itu. Katanya, ia hanyalah sebatas teman, ia hampir menganggapnya sebagai kakaknya sendiri. Ah, kakak? Ia anggap kakak? Tak sedikitkah ia mengeretikah perasaanku saat itu. Apakah tiada rasa cemburu yang aku rasakan? Kawan! Bila kau merasakan apa yang tengah kurasakan saat itu, tiada kujelaskan kembali apa yang kurasakan dalam hatiku. Hatiku seperti di penjara dalam hutan madu yang di kelilingi lebah beracun.
***
Engkau yang pernah bernaung di hatiku, kekasih. Terimakasih luka yang kau beri ini. Aku tak tahu, bahwa apa yang terlah terjadi dengan apa yang ada di hatimu. Pesan itu, apakah engkau pun mencintainya. Apakah kau tahu apa yang sedang aku rasakan saat ini. Sakit. Dan kata maaf tak henti mengalir dari bibirmu.
Engkau yang pernah bernaung di hatiku. Maafkan bila aku bukan yang terbaik bagimu. Mungkin keputusanku sudah bulat, sudah engkau pahami. Dulu aku pernah berkata, aku tidak pernah berjanji bila harus selalu bersamamu. Adakalanya aku akan pergi, atau engkau yang akan lebih dulu pergi. Dan apakah senyummu kali ini bisa menyembuhkan luka dihatiku. Bisakah? Terimakasih atas luka pertama yang kau beri, aku yakin kejadiaan ini akan selalu di kenang, walau pahit, tetap melekat di hati. Maafkan aku yang tidak bisa membahagiakanmu.
Allah telah memberi sedikit cahaya-Nya ke dalam dadaku, hatiku. Hingga akhirnya aku mengerti hubungan itu begitu terlarang. Aku tersadar sebelum tersungkur. Saat tiba waktu itu aku putuskan hubungan terlarang yang selama ini kita jalankan. Awalnya begitu indah, akhirnya begitu rendah. Karena hilangnya keindahaan, maka hadirlah kebencian. Maafkan bila selama ini usahaku menjadi buntu, akan bersamamu dan membahagiakanmu. Tak apa, kau marah kepadaku, kau murka kepadaku. Tapi apakah kau yang harus marah? Bukan aku? Namun, aku lebih takut murka-Nya, karena hubungan terlarang ini. Maafkan aku harus melepasmu karena aku menyayangimu. Tersadar, cinta itu fitrah. Aku tidak ingin mengotori cinta yang telah diberikan oleh-Nya. Aku mulai tersadar dengan hubungan terlarang ini. Maafkan aku yang sudah memberi harapan palsu kepadamu. Tapi, ini pilihan. Pilihan terbaikku untuk melepasmu. Melepasmu karena-Nya.
Aku juga merasakan gejolak di dalam hatimu, sangat kurasakan. Karena aku juga merasakan, dan hafal benar karena hatimu sudah lama bersanding di hatiku. Aku yakin ini adalah pilihan yang terbaik, untukku, juga untukmu. Hatimu kini pastilah seperti tenggelam di tengah laut biru yang paling dalam, tidak akan ada yang menolong kecuali Tuhan-mu, Dia akan menolongmu, kembalilah pada-Nya. Kau pasti bisa menjalankan kehidupan ini, kehidupan yang lebih tengang, bergantunglah hanya pada-Nya. Bagiku, kini kau hanya tempat singgahan hati, seperti kupu-kupu bersinggah di bunga yang indah, lalu pergi. Oh,  maafkan!
Maafkan aku bila harus melepasmu. Aku telah memiliki kekasih lain, dan aku mencintai-Nya, Dia lebih mencintaiku. Aku melupakan-Nya, Dia tetap memberi kasih sayang kepadaku. Aku sering mendustakan-Nya, Dia tetap setia bersamaku. Karena ketidakadilanku kepada-Nya membuatuku semakin jatuh cinta pada-Nya. Termakasih kau telah memperkenalkan aku dengan yang nama cinta. Indah memang. Tapi keindahan itu di hapus sudah oleh hubungan terlarang. Dulu, aku tak pernah tahu apa itu jatuh cinta, saat bersamamu, aku merasakannya.
Setelah kehilangan kepercayaan cintamu. Kini, aku benar-benar meraskan jatuh cinta yang sesungguhnya. Terasa setelah melepasmu dan kehilanganmu. Aku begitu merindukan-Nya. Maafkan aku, harus melepasmu, karena aku telah jatuh cinta pada kekasih terindahku. Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
***
Kawan! Seperti itulah apa yang tengah kurasakan. Ah, apakah hampir sama dengan tulisan kusut ini? Entahlah! Keheningan malam semakin terasa. Terdengar jarum jam terus berdetak tanpa lelah, menunjukan sebelas lima belas. Keheningan malam semakin larut, aku pun larut dalam lautan larik-larik sajakku. Mataku sudah mulai berkunang-kunang. Aku hentikan menghadapkan dalam buku harianku. Mulatku sudah mulai menguap, rasa kantuk sudah menjamu. Terdengar suara serak pintu kamar seperti ada yang membukanya.
“Nak, Ari. Sudah malam kok belum tidur? Besok ‘kan hari pertama kuliah.”
“Iya, Bu. Ini baru selesai. Segera mau tidur kok.”
Ibuku kemudian menutup pintu kamarku. Oh, begitu perhatiannya engkau, lebih dari segala cinta manusia. Kini, cukup hanya cintamu bagiku, ibu. Gelapnya malam menutup akhir cerita, terangnya mentari esok akan membuka awal cerita. Kepada-Mu kuserahkan segala asa. Engkau-lah Maha Pemberi Cinta.

Cirebon, 24 Nov 2013

Untukmu, yang sudah kulepaskan..

Posting Komentar

0 Komentar