Desir angin bertasbih atas karunia-Nya.
Tiada ciptaan yang tiada berguna oleh Sang Maha Pencipta. Dia hamparkan berbagai anugerah dan karunia pada ciptaan-Nya, manusia, hewan, tumbuhan, gunung, daratan dan lautan. Semua yang ada di bumi dan langit serta di antara keduanya. Tuhan memberinya karunia tanpa meminta harap kembali. Sungguh Dia-lah maha kaya dan segalanya. Tiap makhluk-Nya dengan rendah hati bersujud atas titah Tuhannya yang agung. Terkecuali mereka manusia yang sibuk tergoda oleh dunia fana.
Desir angin bertasbih atas karunia-Nya.
Lautan bergelombang bertasbih pada-Nya. Rerumputan riang bergoyang bertakbir pada-Nya. Burung-burung terbang riang bekicau dan bersiul memuji pada-Nya. Seperti sepasang merpati putih dengan siulan syukur terbang di udara. Tidak ada yang menahannya selain Yang Maha Pengasih.[1]. Kepakan sayapnya tak henti lelah terbang sejauh mata memandang. Desir angin menemani setia petualangannya yang mesra dan menantang.
“Tuhan menciptakan angin agar aku bisa terbang bersamamu wahai kasihku.” Ucap merpati jantan memuji kekasihnya atas karunia-Nya.
Siulan mereka semakin merdu. Menyatu di sela-sela angin berderu. Aliran angin menelusuri celah bulu-bulu putihnya yang begitu memesona.
“Kasih? Sayang kita tak bisa melihat angin, kita hanyalah bisa meraskan belaiannya saja.” Kata merepati betina kepada merpati jantan. Dan merpati jantan pun menjawabnya kembali mesra,
“Seperti itulah kasih sayang-Nya pada kita, begitu pula cintaku padamu, tak terlihat tapi kita bisa merasakannya.” Sepasang merpati putih itu terus terbang membelah angkasa, tak pernah luput bertasbih memuji Tuhannya.
Desir angin bertasbih atas karunia-Nya.
Pepohonan di taman menciptakan kesejukan. Dedaunan dan ranting-ranting tak henti menari-nari. Di taman itu, terlihat dua pohon beringin rindang berdiri dengan kokoh. Jangkauan keduanya terpisah tak terlalu, tapi tak ada sentuhan daun ataupun rating di antara keduanya. Mereka tak luput bertasbih. Namun salah satu pohon itu merasakan kehampaan, bosan dan kosong karena ia hanya bergeming di atas tanah subur yang dilapisi rerumputan, tak ada yang menemani dirinya.
“Hampanya hidupku berdiri di sini tak ada yang menemani, tak ada belaian lain selain hanyalah angin.” Kata pohon rindang itu dengan rasa penuh hampa dan merana.
Pohon di sampingnya mendengarkan keluhan deru pohon itu, dan dengan suara lembutnya ia segera berkata,
“Apakah kau tak merasakan keberadaan diriku? Bukankah selama ini aku selalu berada di sampingmu? Tunggulah kita lebih dewasa agar kita bisa bersentuh kasih.”
Hingga desir angin tak henti tersenyuman mendengar kedua pohon itu bercakap-cakap. Hanya angin yang selalu membelai mereka berdua atas titah-Nya, kasih sayang-Nya.
Desir angin bertasbih atas karunia-Nya.
Di tengah cengkraman kedua pohon itu, sepasang merpati putih yang terus terbang tanpa lelah, hingga angin membawa mereka menuju sebuah taman, dan hinggap di ranting salah satu pohon yang merasakan kehampaan atas kesendiriannya. Bulu keduanya diterpa angin sepoi. Kehampaan pohon beringin itu sedikit mengobatinya atas kehadiran sepasang kekasih tamu tak diundang. Dedaunan dan ranting tak henti bertasbih memuji pesonanya. Akan tetapi di sisi lain, ia merasa iri atas kemesraan mereka.
“Kehampaanku memang terganjal oleh sepasang merpati putih yang hingap di ranting kecilku ini. Maha Suci Allah, begitu menawan dan memesona, keduanya begitu mesra. Tapi, apalah arti semua ini bila aku tak bisa seperti mereka, berkasih seperti mereka. Harus sampai kapan aku kesepian tanpa belaian adanya sang pujangga?”
Keluhannya itu terdengar oleh pohon di sampingnya. Ia merasa geram mendengarnya. Ia merasa lelah menasihati pohon yang suka mengeluh itu. Tapi ia tak ingin menyerah, dan segera menasihatinya kembali dengan suara lebih halus, bahwa dirinya pastilah tidak sendiri dan setidaknya memberi manfaat bagi makhluk yang lain.
“Bukankah ini sebagian atas karunia dan kasih-Nya, bahwa kau tak sendir., Bukankah masih ada yang membutuhkan rantingmu.”
Desir angin bertasbih atas karunia-Nya.
Kemesraan sepasang merpati putih itu tak henti menggoda kehampaan pohon hinggapannya. Kemesraan mereka dialiri tasbihan kepada Tuhannya. Merpati jantan itu tak henti memuji kesetiaan kekasihnya dan pesonanya lapisan bulu-bulu putih yang menyejukan mata, menyejukan siapa-siapa yang memandangnya. Karena pujian merpati jantan, merpati betina tersipu malu seraya membalas,
“Bukankah Tuhan telah mengakaruniakanku atasnya dan halal bagimu.”
Keduanya bersiul mesra, akan tetapi, kemesraan mereka terganggu oleh kedatangan seorang perempuan berdiri di bawah pohon itu. Pakaiannya menggoda dan dapat menyita perhatian siapa yang memadandangnya, sangat memesona bagi mata hawa nafsu. Rambut hitamnya tergerai tak henti angin menerpa rambut, juga pakaiannya. Kulit putihnya bening bak permata lautan. Bau wangi parfumnya dapat menyihir perhatian pasangan mata.
Desir angin bertasbih atas karunia-Nya.
Tak begitu lama terlintas seorang lelaki alim berjalan di hadapan perempuan itu. Perempuan itu mendapati kesempatan akan perhatiannya lelaki alim itu, ia berpikir bahwa kecantikannya akan membuat orang menjadi mabuk kepayang olehnya, lalu mendapati pujian atasnya, iman lelaki alim itu pastilah akan tergoyah olehnya. Kemudian Lelaki alim itu tak sengaja memandangnya, hatinya bergejolak, ia baru pertama kali melihat perempuan yang tak harus ia pandang, namun lelaki alim itu berusaha mengendalikan hati yang goyah dan mencoba menundukan pandanganya, ia terus melangkahkan kakinya, mencoba menjauhkan diri darinya.
Desir angin bertasbih atas karunia-Nya
Nampaknya perempuan itu merasa tak menerima kehirauan lelaki itu, dan merasa kehadiran dan kecantikannya tiada dipedulikan, dengan hati yang bergemuruh, ia berkata,
“Jangan engkau salahkan rupa dan tubuhku yang indah, bukankah Tuhan yang telah mengakaruniakanku atasnya.”
Mendengar ucapan perempuan itu, lelaki alim itu menghentikan langkahnya, kata-kata yang dilontarkan oleh perempuan iru sedikit mengganjal dalam benaknya, ia tak henti membaca istighfar, dengan mulut basah karena dipenuhi tasbihnya, lelaki itu kemudian menjawab,
“Atau jangan pula engkau salahkan bila aku mempunyai nafsu, wahau perempuan, apabila kaumku tak memilikinya engkau pun mungkin tak memiliki keindahan rupa dan tubuhmu itu.”
Desir angin bertasbih atas karunia-Nya.
Lelaki alim itu pergi berlalu. Meninggalkan serpihan kata di lubuk hati seorang perempuan. Kali ini ia tidak menanggapi ucapannya itu, ia pikirkan bahwa itu hanyalah ucapan angin berlalu. Tidak sedikit pun menyentuh dalam lubuk hati perempuan itu, keras bagai batu. Setelah lelaki alim itu pergi, tak lama kemudian datang pula seorang lelaki dan membawa perempuan itu pergi. Suasana kembali tenang dan damai. Kemesraan sepasang merpati di atas pohon itu yang sempat terganggu, kembali melajutkan siulan merdunya. Merpati betina berkata kepada merpati jantan,
“Bising sekali tadi di bawah ya.”
Merpati jantan lalu menjawab, “apa pedulinya aku.”
Kemudian merpati betina berkata kembali, “betapa indahnya bila pemberian karunia Tuhan disesuaikan dengan aturan dari-Nya.” setelah itu keduanya lalu terbang mesra membelah angkasa. Berpetualang menjemput ridla-Nya.
Desir angin bertasbih atas karunia-Nya.
Suasana di taman kembali lebih tenang dan damai. Ranting-ranting dan dedaunan tak henti menari atas seruan angin. Pohon itu telah sadar atas keberadaan dan karunia dirinnya.
“Biarlah kehampaan dan tiada belaian atas kesendirianku memberi arti kehidupan mereka,” mendegar ucapan itu, pohon di samping meyambungkan ucapan pohon itu,
“Inilah anugrah dan karunia-Nya yang diberikan kepada kita.”
Kemudian ia membalasnya dengan rasa penuh harapan, “tak maukah kau goyangkan rantingmu sedikit untuk bersentuh kasih bersamaku?”
Cirebon, 05 April 2014
________________________________________
[1] QS. Al-Mulk:19
0 Komentar