Arti sebuah Perpisahan

Oleh: Tira Nazwa Aliyyah


Judul Buku : Kupu-kupu di Secangkir Kopi
Pengarang : Ari Irawan
Penerbit     : Asrifa
Kota Terbit : Bandung
Terbit : Cetakan pertama, April 2015
Tebal Buku : 124 halaman
ISBN : 978-602-1363-80-5

IAIN Senja digairahkan oleh penerbitan buku kumpulan cerita pendek (cerpen) berjudul Kupu-kupu di Secangkir Kopi karya Ari Irawan. Mahasiswa Pendidikan Biologi ini berhasil mengikuti beberapa sayembara antologi cerpen dan dimuat dalam beberapa buku bersama penulis lain yang juga ikut memenangkan sayembara, akhirnya ia bisa menerbitkan buku perdananya yang berisikan cerpen-cerpen karyanya sendiri.

Buku kumpulan cerpen ini memiliki setel buku yang terdiri atas 16 cerpen. Judul keenam belas cerpen itu ialah Sweet Chocolate Terakhir, Ziarah Masa Lalu, Kupu-kupu di Secangkir Kopi, Menunggu di Stasiun, Sebatas rindu, Rumah Berlumut dan Perempuan Mesin Jahit, Ketika Cinta Diuji, Sebuah Pilihan di Keramaian Malam, Penantian, Surat Kematian, Aku Bukan Anak Durhaka, Status Ihtiar, Yang Dirantau, Sepenggal Drama di Pinggir Jalan, Senja di Januari, dan terakhir Pencuri.

Kupu-kupu di Secangkir Kopi merupakan judul cerpen yang ketiga. Seperti dua cerpen sebelumnya, Ari membiarkan pembaca tersendu-sendu membaca kisah yang memilukan akibat sebuah perpisahan. Pembaca dibuat tercabik-cabik membaca cerpen yang satu ini. Selain perpisahan, sang tokoh harus melewati sebuah penantian panjang. Ya, menunggu adalah hal yang paling melelahkan. Sudah menunggu lama, pemilik cerita harus melewati konflik kecil akibat kesalahpahaman, dan yang paling menyesakkan, tokoh yang ditunggunya selama ini tidak mau mendengarkan penjelasan darinya, dan ia lebih memilih untuk meninggalkannya untuk yang kedua kalinya. Ya, penulis berhasil membuat kisah sedih, tentang perpisahan, penantian, dan sebuah harapan yang tak kunjung menepi.

Selaku penulis pemula, Ari telah berhasil menyajikan cerita-cerita menarik dan mampu melelehkan pembacanya, membuat pembaca hanyut dalam setiap serinya. Namun seperti kata pepatah, tiada gading yang tak retak, ada bagian cerpen yang belum berhasil diramu penulis. Dalam cerpen yang berjudul Senja di Januari, Ari mengambil latar di sebuah tempat di Kalimantan, namun dengan sangat jelas ia menuliskan bahwa tempat tersebut tak dapat ditemukan di peta. Bagi sebagian pembaca mungkin tidak akan terlalu begitu mempermasalahkan hal ini, namun terkadang ada pembaca yang mempermasalahkannya. Kesan pertama yang didapat ketika membaca kata-kata tersebut adalah bahwa pengarang tidak mengetahui secara pasti tempat yang ia deskripsikan.

Gaya bahasanya lugas dan mudah dipahami, sehingga buku ini sangat cocok dibaca kalangan remaja ataupun dewasa. Berbeda dengan buku kumpulan cerpen Pengantin Subuh buah tangan Zelfeni Wimra, ia menggunakan kata-kata yang mendayu-dayu, lebih mementingkan estetika penggunaan majas, sehingga dalam membacanya tidak cukup dalam sekali duduk; perlu adanya pemahaman yang lebih lanjut.

*dimuat dalam buletin METHODA LPM FatsOeN

Posting Komentar

2 Komentar