Aku Bukan Anak Durhaka



“Ibumu sangat merindukanmu. Pulanglah!”
Tertulis kalimat terakhir surat dari kakakku semenjak dua tahun aku berada di tanah rantau Samarinda untuk mengadu nasib. Namun nasibku tak kunjung berubah, sama sekali tak ada kemajuan. Penghasilan bekerja sebagai kuli bangunan hanya sekedar untuk mengisi perut. Miris, aku tak punya ongkos pulang kampung, sekedar untuk mengucapkan bahwa aku pun sangat merindukannya.
Sebagai perantau, rindu kampung halaman adalah penyakit utama yang tak bisa disembuhkan kecuali dengan pulang ke tampat asal. Sampai dua tahun penyakit itu tak henti menggrogoti tubuhku. Sakit rasanya dua kali lebaran tidak mencium tangan ibuku yang halus. Padahal hari raya merupakan momen yang indah untuk berkumpul bersama keluarga. Sebagaimana keluarga yang lain. Aku hanya merayakan hari raya sendiri di tanah rantau, di kamar kontrakan sempit layaknya kandang kambing yang bau tengik dan sangat kotor. Tikus-tikus dan kecoa berkeliaran seolah menjadi teman karibku selama mengadu nasib.
Dan menginjak tahun ke tiga, aku masih berada di tanah rantau. Aku yakin keluarga di rumah sangat merindukanku, atau malah membenciku karena aku terlalu egois tidak  menyisakan waktu pulang ke rumah. Mendekati lebaran, yang bisa kulakukan hanya menulis surat permohonan maaf dan menumpahkan genangan kerinduan selama tiga tahun kepada ibu dan kakakku di desa Kebon Dalem. Selama ini, kakakku yang sering mengirim surat kepadaku. Tentang keadaan ibu, dan kerinduan ibu. Akan tetapi, tidak untuk tahun ini. Ketika aku membuka surat dari kakakku, hatiku seperti teriris-iris.
“Ibumu sakit karena merindukanmu. Pulanglah! Kalau tidak kau layak dicap sebagai anak durhaka karena telah menyakiti ibumu sendiri.”
Air mataku menetes disela-sela pipiku. Hatiku perih membaca potongan surat itu. Betapa bodoh dan tololnya aku membuat ibuku jatuh sakit karena ulahku sendiri. Ya Allah, berilah kesembuhan kepada beliau, ia begitu menderita karena ulah seorang anak perantau yang tak tahu diri.
Aku hanya bisa merenungi nasibku, juga pekerjaan yang tak bisa merubah nasib. Setiap hari banting tulang, mengunjal batu-bata, mengaduk semen, mengangkat kayu-kayu. Panas terik matahari menjadi teman karibku seharian. Sebulan menjelang lebaran di tahun ke empat, aku terus bekerja bahkan sampai sip malam. Mandor petukangan melihatku terheran di bulan puasa ini mengapa lebih memilih bekerja tanpa henti.
“Hampir empat tahun aku belum pulang ke kampung halaman, Pak,” kataku.
Mendengar ucapanku matanya terpana. Mungkin merasa kasihan dan malang pada diriku. Tangannya menyasar-nyasar ke dalam saku celana. Telihat beberapa lembar uang dikeluarkan dari sakunya. “Anak muda, kanapa kau tidak bilang dari dulu pada saya. Ya sudah, kau tidak usah bekerja lagi,” katanya seraya menyodorkan uang ratusan ribu padaku. “Sekarang pulanglah, keluargamu pasti sangat merindukanmu,” lanjut sambil tersenyum padaku.
Sungguh, hari ini terasa seperti mimpi. Hatiku merasakan kebahagiaan yang tak terperi. Aku menerima uang dari mandor itu dengan beribu-ribu terimakasih. Harapanku bertemu ibu sejak empat tahun akan terobati. Empat hari menjelang lebaran aku berkemas barang-barang untuk segera meluncur dan meninggalkan tanah rantau yang menyedihkan ini. Aku tidak sabar menyium kakinya, tangannya, wajahnya yang mungkin kian keriput. Ibu, aku datang membawa kerinduan dan cinta yang sudah tergenang seluas samudera.
Sesampai di Kebon Dalem, kerinduanku semakin meluap-luap. Empat tahun ditinggal rumah bilik ini tidak berubah. Kulihat seorang perempuan renta terduduk di branda rumah. Aku yakin itu adalah ibuku. Aku berlari menghampirinya dan langsung bersimpuh dan mencium kakinya. Air mataku mengalir sangat deras. Kucium tangannya dan kupeluk tubuhnya yang sudah dimakan usia.
“Aku sangat merindukanmu, Ibu,” dalam hatiku, aku berteriak kencang bahwa aku bukan anak durhaka. Sekarang aku pulang dan berada di hadapanmu. Ibuku pun tak kuasa menahan air matanya. Terasa seperti mendadak turun hujan keharuan di rumah ini. Aku menatap kakakku yang tengah berdiri di ambang pintu. Kuhampiri dan mencium tangannya. Terlukis kebahagian di wajahnya, juga kebencian tersebab aku tidak pernah pulang. Aku memohon maaf padanya teringat surat terakhirnya itu.
Dan lebaran tahun ini aku bisa menikmati bersama keluarga. Harapan yang terpendam selama empat tahun. Dan rumah ini tidak ada yang berubah. Masih seperti gubuk bila diterpa angin besar bisa luluhlantak dengan sekejap mata. Ketika aku memasuki kamar kakakku, terlihat beberapa beberapa tumpukan kertas. Ya, kertas suratku selama mengirim pesan dengannya. Aku mengambil secarik kertas, dari tanggalnya terlihat tulisan itu baru ditulis oleh kakakku. Tentunya tertuju padaku sebelum aku menginjak di Kebon Dalem ini. dan ketika aku membacanya,
Dasar anak durhaka! Lebih baik kau tidak pulang untuk selamanya!

Cerpen ini memenangkan Lomba Cerpen Idul Fitri di Tanah Rantau
yang Diselenggarakan oleh Penerbit Oksana

(gambar: Andriyanti)

Posting Komentar

0 Komentar