Gemuruh suara warga dari arah utara desa Nanggela terdengar hingga membuat orang-orang di sekitar terheran, yang berada di dalam rumah pun berhamburan keluar. Suara cacian dan makian oleh rombongan warga itu makin jelas terdengar.
“Anak seperti ini tak perlu dikasihani,” tegas salah satu warga yang meringkul, menyeret dan mendorong-doroang seorang pemuda itu.
“Hajar saja! tak usah diberi ampun,” lanjut warga yang lain sambil memukul dan melakukan hal sama seperti warga lain. Tiada ampun mereka memperlakukan seorang pemuda itu layaknya seekor babi hutan yang malang.
“Ampun Pak, ampun.. Sumpah bukan saya,” simpuh pemuda itu hingga suaranya terbata-bata. Sayang usahanya sia-sia saja. Tiada peduli. Bagai suara keledai.
Jumlah mereka begitu banyak. Warga yang berhamburan dari rumah pun menghampiri kerumunan itu dengan rasa cemas dan seribu penasaran yang membungkit.
“Maaf bapa-bapa, sebenarnya apa yang telah terjadi,” tanya Pak Abdul salah seorang warga yang menghampiri keributan itu. Ia terperanjat melihat pemuda itu diperlakukan tak manusiawi.
“Ini Pak Abdul, selama ini di desa kita yang sering kehilangan uang dan lainnya, ternyata anak ini biangkeladinya,” ucap Ipung yang sedari tadi ikut menggiring pemuda itu.
“Iya Pak Abdul, tampangnya saja baik, sok suci, tapi hatinya busuk,” lanjut seorang warga di samping Ipung.
“Benar, lebih baik potong saja tangan yang murka itu,” teriak seorang warga lagi dari belakang kerumunan.
“Sudah, sudah, semuanya tenang dulu, tidak baik kita main menghakimi sendiri seperti ini. Memang bapa-bapa sudah punya buktinya kalau Ahmed ini benar yang mencuri? Kalau semuanya tidak benar nyatanya, kalian semua yang menjadi tersangka, kalian yang bertanggungjawab atas perbuatan kalian ini,” terang Pak Abdul sambil berusaha menenangkan suasana seperti api yang membara-bara ini.
Sementara, Ahmed, yang kini tertuduh menjadi tersangka pencuri itu tertunduk dan tak henti menitikan air matanya. Mukanya pucat, pipinya memar, dan tak bisa berbuat apa-apa selain meringis kesakitan.
“Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia ini keluar dari rumah Mpok Siti. Hingga beberapa jam kemudian, Mpok Siti mengabarkan ternyata ia kehilangan uangnya,” Ipung menjelaskan peristiwa mengapa Ahmad adalah tersangka pencurinya.
“Ahmad, benar kau yang mencuri uang itu?” bertanya Pak Abdul kepada Ahmad.
“Bukan Pak, beneran bukan saya yang mencurinya,”
“Alaahh.. mana ada maling ngaku, maling memang selalu berkata seperti itu,” sela Ipung.
Suasana makin memanas di siang itu. Namun kejadian belumlah tuntas dan pasti apakah benar yang mencuri uang Mpok Siti adalah Ahmed. Namun Ipung dengan kayakinannya bahwa yang mencuri itu benar adalah Ahmed. Sementara Pak Abdul masih belum meyakinkan bahwa yang mencuri itu benar Ahmed. Pak Abdul terdiam sesaat seperti tengah memikirkan sesuatu. Tak lama Pak Abdul kembali angkat bicara,
“Ya sudah, lebih baik sekarang kita bawa saja Ahmed ke rumah Pak RT, kita selesaikan masalah ini bersama di sana secara kepala dingin. Tidak main hakim sendiri seperti ini. kamu, Caswadi,” Pak Abdul menunjuk salah seorang yang bernama Caswadi. “Panggil orangtua Ahmad agar dia ke rumah Pak RT untuk menyelesaikan masalah ini. Beritahu mereka dengan baik agar tidak terkejut mendengarnya. Oh ya, jangan lupa panggil Mpok Siti juga.”
Suasana yang memanas menjadi tenang setelah mendengar nasihat Pak Abdul setidaknya menjadi titik terang untuk menyelesaikan masalah. Warga menuruti usulan Pak Abdul itu. Ia juga meminta warga di kerumunan ini agar kembali ke rumahnya masing-masing. Biar yang bersangkutan saja yang menyelesaikan masalah ini.
Tak lama kemudian mereka berbondong-bondong ke rumah Pak RT. Setelah sampai di sana, Pak RT terheran mengapa di rumahnya kedatangan banyak. Setelah Pak Abdul sedikit menjelaskan apa yang terjadi, akhrinya Pak RT mempersilahkan mereka masuk. Mereka duduk di ruang tamu yang lumanya luas. Ipung, yang menjadi saksi kembali menjelaskan dari awal yang terjadi kepada Pak RT.
“Ahmed, coba jawab dengan sejujurnya, benar kamu yang mencuri uang Mpok Siti?” tanya Pak RT dengan nada halus.
Karena selama ini, Ahmed memang terkenal dengan kejujurannya. Tidak hanya baik, ia pun wekel pergi ke masjid, tak pernah tertinggal. Apalagi ia tengah menduduki bangku kuliah, jelas di sana ia pasti diajari pendidikan dan akhlak. Jadi dalam benak Pak RT sedikit tak percaya bahwa yang mencuri itu benar Ahmed.
“Sumpah, bukan saya yang mencuri Pak,” raut wajah Ahmed masih terlihat kusut dan noda memar di wajahnya bekas pukulan warga.
“Sejujur apapun seseorang, kalau ia lagi salah mana mungkin ngaku, Pak RT,” sela Ipung setengah mati dengan keyakinan Ahmed topeng dari pencurian itu.
“Ahmed, coba jelaskan mengapa dan untuk apa kamu masuk ke rumah Mpok Siti, hingga uang di rumah itu kehilangan,” Pak RT kembali memastikan peristiwa sebenarnya dari Ahmed.
Ahmed terdiam sejenak. Ia mencoba menarik napas pelan. Menata hatinya. Dengan sekuat tenaga ia menjelaskan yang terjadi dari awal.
“Memang benar saya tadi sempat masuk ke rumah Mpok Siti. Tadinya saya mencoba enggan untuk masuk dan tidak menuruti kemauan Ramdan,”
“Ramdan? Apa maksud kamu menyebut nama anakku?” Tanya Mpok Siti yang juga tengah duduk di sana, sementara ayah Ahmad masih belum kelihatan di ruang tamu itu. Barangkali karena ayahnya sedang sibuk mengurusi pabriknya. Ahmed tidak menjawab, ia memilih melanjutkan pembicaraannya.
“Ketika itu saya ingin bertemu Ramdan untuk mengambil buku kuliah milikku yang dipinjem olehnya. Katanya, ambil saja di kamarnya. Saat itu ia sedang menelepon entah dengan siapa, dan ia tak ingin diganggu olehku. Akhrinya saya mengambil buku itu di kamarnya. Meski saya berusaha menolak. Tapi untuk hilangnya uang Mpok Siti, Demi Allah, saya tidak mengambilnya sama sekali,”
“Ipung, dari tadi ‘kan kamu nongkrong di jondol dekat rumah Mpok Siti. Apakah sebelum dan sesudah Ahmad masuk ada yang masuk ke rumah Mpok Siti?” Pak RT bertanya pada Ipung.
“Selama saya ada di sana, tidak ada orang lain yang masuk lagi, kecuali Ramdan yang masuk setelah Ahmed keluar. Kemudian Ramdan keluar dan pergi naik sepeda motornya. Dan disusul Mpok Siti masuk. Setelah itu, barulah Mpok siti mengabarkan kehilangan uangnya. Dari situ saya yakin benar pemuda ini pelakunya. Hei, ngaku saja kau!” bentak Ipung.
“Jangan mengambil keputusan tanpa bukti. Siapa tahu Ramdan yang mengambil uang Mpok Siti itu,” Pak Abdul menyambung pembicaraan.
“Tidak mungkin! Anak saya tidak mungkin mengambil uang itu, karena Dani sudah saya beri jatah uang selama satu minggu dan itu cukup besar. Saya rasa bukan Dani yang mengambilnya, kalaupun butuh uang ia akan minta kepada saya,” sela Mpok Siti membela anaknya. Mpok Siti akrab memanggil anaknya dengan sebutan Dani, karena nama lengkapnya Dani Ramdan.
Suasana semakin membingungkan. Pak RT memutar-mutar pikirannya untuk meyelesaikan masalah ini. Pak Abdul dan beberapa warga yang hadir pun terlihat bertatap-tatap. Mereka lebih condong yang menycuri adalah Ahmed. Kecuali Pak Abdul.
“Ahmed tadi sudah berucap sumpahnya, ia sesungguhnya tidak mengambil uang itu. Tapi kita masih belum meyakini siapa pencuri yang sesungguhnya,” Pak RT kembali angkat bicara.
Tidak lama kemudian terdengar ketukan langkah dari arah pintu. Disusul dengan sapaan salam. Seisi ruang serentak menjawabnya. Pak Imran, ayah Ahmed baru tiba, diikuti di belakangnya ada Caswadi yang mengundangnya ke rumah Pak RT.
Tanpa basa-basi setelah salam, Pak Imran langsung masuk dan mengampiri Ahmed, anaknya.
PLAAKK... tamparan keras mendarat di pipi Ahmed. Ahmed meringis kesakitan. Seisi ruang terkejut atas ulah Pak Imaran itu. Amarah yang membara terlihat dari wajahnya yang keputihan itu memerah. Dadanya naik turun karena emosi yang meluap-luap bagai singa yang menerkam akan kijang.
“Dasar anak tak tau diri, tak tau diuntung, sudah saya kasih uang dan makan setiap hari, masih saja mencuri uang milik orang. Sejak kapan bapakmu ini mengajarimu mencuri, hah?” Pak Imran berteriak hingga suaranya melayang-layang seantero ruangan. Ahmed terlihat masih meringis kesakitan atas tamparan keras ayahnya itu. tamparan yang mendarat di bekas memar pukulan oleh warga pula. Suasana ruangan makin menggebu-gebu, marah, sedih, kasihan, dan rasa tak percaya, bercampur aduk jadi satu.
“Sudah, sudah Pak Imran, tidak akan menyelesaikan masalah dengan cara kekerasan seperti ini,” Pak RT mencoba menenangkan emosi Pak Imran yang tengah membukit itu. dan mencoba mengajaknya duduk. Sebab untuk meredakan emosi di antaranya adalah dengan berduduk. Sempat Pak Imaran berontak tapi akhrinya suasana bisa dikendalikan oleh Pak RT, hingga kini kembali lebih tenang, benar saja.
“Karena yang keluar terakhir adalah Ahmed dan Ramdan. Mungkin alangkah baiknya kita mengundang Ramdan untuk ke sini. Sehingga jelas siapa sebenarnya yang mencuri itu,” ungkap Pak Abdul mengeluarkan usulan.
“Benar Pak RT, mungkin sedikit menjadi titik terang untuk masalah ini,” Caswadi yang masih brdiri menyetujui usulan Pak Abdul. Pak RT mengangguk-angguk tanda menyetujui.
“Usulan baik,” kata Pak RT. “Ya sudah, kau Caswadi, coba panggil Ramdan kemari siapa tahu ia sudah pulang,” lanjutnya meminta Caswadi mengundang ke rumahnya.
Caswadi yang masih berdiri itu langsung meluncur keluar. Suasana ruangan sedikit lebih tenang. Berselang beberapa lama, Caswadi berhasil membawa Ramdan ke rumah Pak RT. Ramdan dipersilahakn masuk dan duduk. Pak RT menjelaskan kejadian kepada Ramdan dari awal hingga sampai kenapa ia diudang ke rumahnya itu. Setelah semuanya selesai Pak RT langsung bertanya kepada Ramdan.
“Apakah benar kamu yang menyuruh Ahmed ke rumahmu untuk mengambil buku miliknya. Hingga akhirnya ibumu kehilangan uangnya,” Ahmad memandang Ramdan dengan penuh harap. Ia yakin temannya itu akan menjelaskan yang sesungguhnya.
“Tidak Pak RT, saya tidak pernah menyuruh Ahmed ke rumahku untuk mengambil bukunya. Mungkin benar dia yang mengambilnya Pak RT, karena sebelum saya keluar rumah, kamar ibu saya mula terturup, tapi setelah saya masuk, puntu kamarnya terbuka, sementara di rumah itu tidak ada siapa-siapa, dan bukan saya yang mengambilnya,” jelas Ramdan.
“Tuh kan benar, Pak RT. Ahmad memang pencurinya,” sambung Ipung.
“Iya, mana mungkin Dani yang mencuri,” Mpok Siti menyambung kembali.
Ahmad terkejut tak percaya Ramdan berkata seperti itu, tak menyangka ia berani memakan temannya sendiri. Hal itu membuat emosi Ahmed membuncah. Darahnya naik begitu deras ke ubun-ubun kepalanya. Hingga kata-katanya tak bisa dikendalikan.
“Bajingan kau Ramdan. Dia Bohong Pak RT. Jelas dia yang menyuruhku untuk masuk ke rumahnya, dan saya sama sekali tidak masuk ke kamar Mpok Siti,” gertak Ahmad.
“Ramdan, apa kau berani bersumpah atas ucapanmu itu?” Pak RT mencoba meyakinkan.
Ramdan terdiam sesaat. Ia lebih tenang daripada Ahmad. Merasa seperti tidak punya salah sama sekali. Setelah menata hati dan pikirannya Ramdan kembali bicara.
“Benar Pak RT, Demi Allah, bahwa dia (dalam hatinya berkata: tidak) mengambil uang itu. (Jadi kalimat dalam hatinya, bahwa dia tidak mengambil uang itu). Dan saya tidak mengambil uang itu. (dalam hatinya berkata bahwa saya yang mengambilnya).[1]”
Emosi Ahmad tak tertahan lagi. Ia tidak percaya temannya itu berani memfitnah dirinya. Pak Imran, terlihat kembali aura kemarahan yang terpendam dalam jiwanya. Namun ada rasa malu menyelinap dalam benaknya. Malu kepada orang-orang bahwa anak pertamanya itu adalah seorang pencuri. Ia hanya memilih berdiam.
“Itu fitnah, tidak benar, semua itu bohong,” gerutu Ahmad kepada seisi ruangan itu. warga yang hadir berbisik-bisik.
“Tuh kan bener, jelas dia pencurinya,” tegas Ipung.
Ramdan sudah bersumpah atas ucapannya. Jelas kini Ahmed lah akhrinya diputuskan menjadi tersangka. Ia yang mencuri uang Mpok Siti. Akan tetapi Pak Abdul masih tak begitu meyakini bahwa Ahmed menjadi pelaku pencurian itu. Ada yang tidak beres dengan masalah ini, begitu yang dipikirkan oleh Pak Abdul. Jelas berita itu geger seantero desa Nanggela. Pemuda yang dikenal kebaikannya hilang tersiram kabar kekejian.
***
“Bagus juga akting-mu, Pung? Akhirnya mereka percaya juga yang mencuri itu adalah Ahmed. Warga sini ternyata gampang sekali dibodohi,” ucap Ramdan kepada Ipung sehabis pertemuan besar di rumah Pak RT. Mereka kini berduduk santai di sebuah jondol sambil bermain catur.
“Yang penting hasilnya dibagi, Dan. Saya yakin sekarang anak seorang pengusaha sombong itu sudah tak kuat lagi berada di sini, tidak bapaknya, ya anaknya yang kena. Makanya kalau sudah jadi pengusaha sukses jangan sombong,” kata Ipung kepada Pak Imran yang menurut dirinya ia adalah pengusaha sombong. Ia merasa senang karena usahanya sudah berhasil.
***
Sejak saat itulah keberadaan dirinya di Cirebon hanyalah sebuah sampah. Ahmed kini menganyam kehidupannya di rumah kakek-neneknya di Bandung. Ia terpaksa tinggal bersama merekanya lantaran ayah Ahmed, Pak Imran, kini sudah tak menganggap dirinya sebagai anaknya. “Dasar anak tidak tahu malu, tidak sudi saya punya anak pencuri sepertimu,” kata-katanya sudah tertanam dalam benaknya, mengiris hatinya, ia sangat kecewa tidak ada yang mempercayai dirinya bahwa ia tidak mencuri. Karena itu, tidak ada pilihan lain selain pergi dari rumahnya, kampung halamannya.
Sementara Ibu Asti dan Rahmi, ibu dan adiknya percaya bahwa dirinya bukan yang mencuri. Meski Ibu Asti sempat menghalang Ahmed untuk pergi, sia-sia saja usahanya lantaran ayahnya memang begitu membenci Ahmed. “Lebih baik kau pergi saja dari sini, kau hanya mengotori keluarga kami saja,” begitulah kata-kata ayahnya, kasih sayangnya dulu kini tertimbun oleh kebencian.
Hampir enam bulan sudah ia hidup bersama kakek-neneknya. Selama itu ia tak pernah menginjakkan kakinya lagi ke rumahnya. Ia pergi tidak membawa apa-apa, selain sesetel baju dan uang seratus ribu, itu pun ia pinjem diam-diam kepada adiknya, Rahmi. Hingga kini ayahnya masih membencinya. Ataupun bahkan orang-orang sekampung halamannya. Ia terpenjara dari kehidupan ketidakadilah dan penuh kebohongan.
Selama bersama kakek-neneknya, mereka tak henti menasihati Ahmed untuk bertemu dengan Ibunya. Ibunya pasti merindukannya. Tapi itu tak mungkin. Walau ibunya berusaha bertemu dengannya, ayahnya pasti mencegahnya. Orang-orang masih membencinya, masih tak menganggapnya. Bahkan mereka menganggap dirinya sudah mati.
Hingga suatu hari, Ahmed menerima subuah surat dari tukang pos. Tak biasanya ia menerima surat untuk dirinya. Padahal, mungkin dirinya sudah tak ada yang menganggap keberadaannya. Dengan rasa penasaran, Ahmed membuka surat itu dan membacanya. ternyata surat dari adiknya, Rahmi.
Assalamu’alaikum wr. wb.
Kakakku Ahmed, yang kurindu.
Semoga kakak selalu sehat dan berada dalam lindungkan dan bimbingan Allah Swt., amiin. Alhamdulillah, Rahmi di sini juga sehat. Kak, sudah setengah tahun kakak tidak pulang ke rumah. Apa kakak sudah tidak rindu lagi dengan kami di rumah ini? Rahmi sangat rindu sama kakak, setiap jam yang berganti hari, Rahmi selalu mengharapkan kakak untuk pulang ke rumah.
Semenjak itu, tiada lagi yang menemani dan mengajari Rahmi belajar. Tiada lagi yang menegur ketika Rahmi lalai melaksanakan shalat. Tidak ada lagi canda dan tawa di rumah. Semenjak kakak pergi, kini rumah menjadi sepi layaknya kuburan tak berpenghuni, tiada terdengar lagi lantunan ayat-ayat yang kakak baca setiap hari. Rahmi merundukan itu semua, Kak.
Kakakku, Ahmed, yang kucinta
Dengan tinta cinta air mata Rahmi menulis surat ini, semoga kakak tidak sedih membacanya. Semenjak kakak pergi pula, ibu selalu mengurung dirinya di kamar, ibu lebih banyak menghabiskan waktunya berdiam dan malamun. Dan yang membuat sedihnya, selama dua minggu ini, ibu sakit-sakitan dan terbujur kaku di atas kasur. Rahmi yakin, ibu sangat merindukan kakak dan ingin bertemu dengan kakak. Dalam tidurnya ibu selalu memanggil-manggil nama kakak. Apakah kakak tidak merindukan ibu? Tidak ingin bertemu dengan ibu?
Kakakku, Ahmed yang kunanti
Seribu permohonan dan harapan Rahmi ingin kakak pulang ke rumah, bertemu dengan ibu. Walaupun hanya bertatap muka, Rahmi yakin kerinduan ibu yang terpenjara akan terbebas. Mengirup segarnya belaian kasih anaknya. Rahmi tidak kuat melihat ibu menderita seperti ini.
Kak, maafkan Rahmi apabila surat ini membuat kakak sedih dan cemas. Tapi inilah yang terjadi nyatanya. Rahmi juga minta maaf tidak bisa membantu kakak. Ibu dan Rahmi sama sekali tidak membenci kakak, justru berharap kakak segera pulang ke rumah, kami merindukan kehadiran kakak di rumah ini lagi, merindukan kebersamaan yang menumbuhkan kasih sayang seperti dulu.
Adikmu yang merindu
Rahmi Aristi
Air mata Ahmed meleleh ketika membaca surat dari adiknya itu. Hatinya seperti ada yang memeras-meras. Ternyata masih ada yang menyayangi dan mencintai dirinya. Akan tetapi ia membalasnya dengan air mata. Orang yang merindukan dan mencintai dirinya, justru mereka sakit karenanya. Tak terhitung kesalahan menumpuk yang tak terlihat. Dosa. Ia sudah menjadi anak durhaka. Ia menyakiti ibunya, adiknya.
Ah, semenjak kejadian pencurian yang memfitnah diriku, membuat orang-orang terdekatku merasakan sakit yang menyiksa, membuatku terjerat dalam rumut-rumput maksiat. Begitu yang dirasa Ahmed.
Setelah membaca surat dari adiknya dengan genangan air mata, Ahmed melipatnya kembali dan beranjak ke kamar. Ia tidak bisa menyiksa dirinya sendiri, menyiksa orang yang masih menganggap kehadirannya.
Tak lama Ahmed keluar dari kamarnya. Di ruang depan, terlihat kakeknya sedang menganyam bambu. Ahmed mendekati kakeknya itu.
“Kek,” lirih Ahmed kepada Kakeknya, kakeknya sedikit terheran melihat Ahmed menggendong tas. “Ahmed harus pulang, ibu sedang sakit,”
Tanpa membalas, Kakek hanya tersenyum. Ahmed sudah mengerti senyumnya itu. tanda mengiyakan dan itulah keinginan kakeknya sedari dulu, yang selalu menasihati dirinya untuk berpulang. Kini Ahmed baru menyesali kenapa ia tidak pulang dari dulu, apakah ia harus pulang menunggu ibunya sakit.
Setelah pamit dari Kakeknya, sementara ia tidak bisa pamit dengan neneknya karena sedang berpanen di sawah. Ia tidak bisa menulur waktunya lagi.
Ahmed segera meninggalkan rumah singgahannya. Setengah tahun memang waktu yang cukup lama terutama bagi seseorang yang sedang merindukan. Merindukan orangtuanya.
Sesampai di terminal ia menaiki bus menuju terminal Cirebon. Sekitar empat jam perjalanan, akhirnya ia sampai di terminal Cirebon. Untuk sampai ke rumahnya, harus menaiki beberapa angkutan kota atau mobil elf. Tapi ia memilih mobil elf supaya perjalanan lebih cepat. Setelah masuk ke dalam mobil, dari luar pintu terlihat seorang tukang koran yang menawari koran. Karena perjalanan ke rumahnya sekitar satu jam lagi. Akhirnya Ahmed membeli satu koran untuk mengisi waktu kekosongan di dalam mobil.
Tak lama mobil melaju ketika sudah terisi penuh. Ahmed masih membaca lembaran-lembaran koran. Sesampai pada lembaran ke lima. Ia terperanjat ketika membaca salah satu berita.
“...mahasisawa berinisial DR tertangkap dan dikeroyok warga karena ketahuan mencuri sepeda motor di rumah Imran Mustofa. Akibat keroyokan itu, tersangka terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Ciremei. Namun naas nyawanya kini tidak bisa tertolong..”
________________________________________
[1]Sumpah palsu yang merupakan salah satu dosa besar. Seperti sabda Rasulullah, “(termasuk) dosa-dosa besar adalah menyekutukan Allah, membunuh orang, durhaka kepada kedua arang tua, dan perkataan palsu, atau sumpah palsu.” Lebih lengkapnya di Al-Bukhâry, al-Jâmi’ al-Shahîh, (Dâr al-Sa’b, 1987) Juz IX, no. 6871
0 Komentar