Sudah tengah malam Azzah belum menutup matanya. Ia masih sibuk dengan perasaan yang tak bisa diterjemahkan. Pikirannya tak lagi konsentrasi memeriksa tugas anak-anak didiknya. Sementara, Lena, teman satu kosnya itu sudah tampak selesai mengejarkan tugas kuliahnya.
Lena berjalan dari meja belajar menuju tempat tidur. Tubuhnya direbahkan di atas kasur empuk dan menyibakan selimut tebal ke seluruh tubuh langsingnya, karena memang bulan ini adalah awal musim dingin.
Ya, musim dingin yang kesekian kalinya bagi Azzah memendam perasaan yang tak terus menghujani hatinya. Sebuah cinta yang tak bisa diungkapkan. Cinta itu dibuktikan melalui sikap, cinta itu nyatkan melelaui ungkapan. Tapi nyatanya cinta yang dimiliki Azzah tidak demikian. Begitu menyiksa cinta itu.
“Sudahlah Zzah, untuk apa kau mengharapkan yang tak pasti,” terkejut Azzah mendengar suara itu tiba-tiba.
Ia memandang Lena di tempat tidurnya. Tak peduli. Kemudian pandangnnya kembali ke arah buku hariannya. Sementara tugas anak-anak didiknya tergeletak terabikan begitu saja. Ia masih duduk di tempat belajarnya, dengan disinari lampu neon yang menyelimuti bukunya, juga perasaannya.
“Tidak!” sela Azzah kemudian. “Senyuman padaku tulus saat itu sebelum berpisah ketika SMA, meski mungkin dia tak tahu saya mempunyai perasaan yang lebih padanya, tapi saya yakin bahwa dia punya perasaan yang sama sepertiku.”
“Itu hanya menurutmu, bagaimana kalau tidak?”
Azzah menghela napas panjang. Entah kenapa keyakinan itu selalu tumbuh bahwa lelaki yang ada di hatinya itu, juga mencintai dirinya. Seperti itulah yang dirasakan bila rasa cinta sudah melekat di hatinya.
Bahkan ketika perasaan itu membuat dirinya terluka, terluka karena hanya menunggu sebuah penantian. Enam tahun semenjak berpisah dan tak bertatap muka, dengan lelaki yang mengisi ruang harapan di hatinya, ia tak bisa lagi mengelakan lagi perasaan cinta padanya. Hingga ke hati yang amat dalam.
“Bagaimana bila menurutku iya?” Azzah menyela kembali.
“Bukannya saya tak ingin kau putus harapan padanya. Tapi sampai kapan kau akan berharap seperti itu. Apalagi kau tak pernah mengungkapkan perasaan itu. Bagaimana mungkin ia akan kembali padamu, mungkin dia sudah punya yang lain, ” Lena kembali angkat bicara.
“Lalu, sekarang, apa yang akan kau lakukan dan inginkan, Zzah? Ya inginku lebih baik kau tidur saja, bukannya besok pagi kita harus mengajar anak-anak jalanan di Duta Sosial.”
“Mengharapkan kabarnya saja itu sudah cukup bagiku,” singkat Azzah.
“Kalau begitu, kenapa tak mengirimkan sebuah surat saja padanya.”
Azzah terdiam tak menjawab. Sebenarnya ia sudah melakukan itu. Bahkan sudah tak terhitung berapa surat yang telah dikirimnya. Namun sampai saat ini kabar lelaki itu tak kunjung tiba. Bagaimana bisa, bila surat itu ia kirimkan melalui air sungai yang mengalir. Selama ini air sungai adalah tukang pos baginya. Ia tak tahu harus mengirimkan surat itu ke mana. Azzah sama sekali tidak tahu keberadaan sekarang.
Hingga Azzah tidak tahu harus bagaimana lagi. Yang ia tahu, bahwa ia sangat mencintainya. Dan lelaki itu akan kembali untuknya. Satu bulan, satu tahun, tiga tahun, atau lima tahun lagi. Entahlah..
***
Pagi itu Azzah sudah berada di tengah anak-anak jalanan. Di sebuah pendopo alam terbuka di temani semilir angin dan aliran gemercik sungai. Ia tergabung dalam Duta Sosial untuk mendidik anak-anak jalanan yang haus pendidikan. Kini, ia tengah menduduki bangku kuliah Jurusan Sastra Indonesia. Bersama dengan Lena. Ia pertama kenal Lena di Duta Sosial ini. Hingga akrab dan menjadi teman kosnya. Walau mereka berkuliah di kampus yang berbeda. Mereka menghabiskan waktu mengajar bila ada jam kuliah kosong. Dan biasanya hari sabtu dan minggu.
Azzah menggulati pekerjaan ini dengan senang hati. Baginya, barangkali dengan berada di sini juga bisa sedikit memadamkan perasaannya. Apalagi melihat anak-anak jalanan yang begitu lucu, riang dan haus akan kasih sayang. Azzah tak henti memberi motivasi kepada mereka akan pentingnya menulis. Bahkan Azzah terkagum kepada Risma, perempuan berusia sepuluh tahun itu. Ia tidak percaya anak seumurnya memiliki kemampuan menulis yang baik. Azzah sudah membayangkan kelak anak itu akan menjadi seorang penulis hebat dan terkenal.
Setelah selesai mengajar, Azzah melihat Risma terduduk sendiri di tepi sungai. Ia terheran melihatnya lalu mendekatinya. Azzah mengambil posisi duduk di sebelah Risma. Azzah memandang heran jemari Risma yang menggenggam secarik kertas. Dibolak-baliknya kertas itu entah apa yang akan dilakukannya. Dengan rasa penasaran yang membukit, Azzah segera angkat bicara dan bertanya.
“Risma, kalau boleh Kakak tahu, kertas apa yang Risma genggam?” Tanya Azzah dengan suara lembutnya.
“Ini surat untuk kakakku. Sudah tak terhitung Risma mengirimkan surat untuknya. Kakakku berada jauh di sana. Sudah tiga tahun Risma belum bertatap muka, bahkan, hanya untuk mengetahui kabar, Risma tak tahu. Kak Azzah? Apakah kakakku akan segera datang sekedar bertemu Risma, atau menjemput Risma?” Suara tipis Risma itu membuat hati Azzah gerimis. Matanya berbinar. Sebuah harapan yang sama. Menunggu seseorang yang dirindukan dan dicintai. Ucapan Risma mengingatkan dirinya kepada lelaki yang juga menjadi ruang harapan hatinya itu. Dengan merangkai senyum terbaiknya, Azzah lalu menjawab.
“Risma, janganlah berhenti berharap, dengan berdoa dan berusaha kakakmu InsyaAllah akan kembali. Mungkin ia juga begitu mengharapkan ingin bertemu denganmu. Sama sepertimu. Hanya saja belum ada waktu yang tepat untuk itu. Tuhan masih merencanakan waktu terbaiknya.”
“Lalu kapan waktunya itu, Kak? Apakah Kak Azzah pernah mengalami atau merasakan apa yang Risma harapkan saat ini?”
Azzah hanya membalasnya dengan senyuman. Tapi hatinya seperti teriris. Lalu air matanya tak terasa meleleh di sela-sela pipinya. Tak tahan dengan perasaan yang membukit seribu harapan, Azzah segera memeluk Risma seperti belaian ibu kepada anaknya. Dalam hatinya, ia berkata, “Tuhan masih merencanakan waktu yang tepat untuk mempertemukan seseorang yang saling mencintai dan merindukan.”
0 Komentar