Cara Mencintaimu



Seribu cara aku menulis ini mengindari kata cinta. Katamu, perihal cinta, pembuktian dengan tindakan lebih utama dari sekedar mengungkapkan. Tak sengaja aku mengingat ucapanmu lagi, yang telah terlanjur singah ke telinga. Dan perkataan itu hanya membuat hatiku tak merasa bebas.
Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan. Tentang pengalaman konyol sampai kesedihan betapa aku sangat merindu. Sudah terlalu larut kaki melangkah sekeder memperhatikanmu dari jauh. Telah berapa lama kita kenal tapi hanya baru-baru ini kita saling mengenal.
Aku tahu pertemuan kita hanya terbatas. Keberadaan kita disibukan dengan kegiatan masing-masing. Aku sibuk merindukanmu, dan kau, ah, sudahlah, jangan terlalu kau pikirkan. Merindukanmu biar menjadi urusanku saja.
Bukan berarti tidak saling mempercayai. Tapi tanpa mengungkapkan cinta, aku tak tahu keberadaan hatimu sekarang di mana. Aku ingin tahu itu. Apa hanya diri ini yang menginginkan sebuah kepastian. Dan kau, sepertinya hanya diam berdiri dalam pikiranku. Menerka-nerka akan melangkah ke mana. Kepelukanku yang tengah memikirkanmu, atau menjauh karena aku tak mampu menggapai.
Jujur aku tak tau harus bagaimana. Tapi lelaki yang hanya sekedar bicara seperlunya ini membuatku merasa terpenjara. Terikat erat oleh perasaan sendiri. Aku selalu membayangkan bagaimana mengungkapkan perasaan yang terpendam di hati. Membayangkan apa yang akan akan kukatakan dan apa yang harus dilakukan.
Aku tak pandai dalam demikian. Kalau bisa, mungkin bila di alam mimpi akan menjadi lebih mudah. Setelah bangun nanti, semuanya akan baik-baik saja. Seperti tak terjadi apa-apa. Itu cukup membuatku merasa lega dari keluapan perasaan ini. Memang, semakin ke sini kau membuatku menjadi ‘gila’.
Suatu hari itu terjadi saat kita mengerjakan proposal, aku terus memerhatikanmu dari samping, jarimu terus menari di atas keyboard. Keadaan suasana saat itu cukup canggung. Kuselipkan beberapa perbincangan sekedar mengalihkannya.
“Inilah keadaan kalau kita mencoba mengambil suatu tanggungjawab harus kita selesaikan,” kataku.
“Apa kamu menyesal?” tanyamu tersenyum sambil memandangku.
Kau tahu, bagiku tatapan itu terlalu dalam. Perhatianku beralih ke dalam hati yang tak mengira saat itu perasaanku padamu kian meluap. Kecanggungan semula membuat suasana malah menjadi lebih kaku.
“Asalkan mengerjakan tanggungjawab ini bersamamu, apa yang harus disesali?” kita masih bertatap lama. “Eh maksudku, untuk menyukseskan acara ini, kita selesaikan tanggungjawab ini bereng-barang. Kerjasama adalah kunci utama.”
Aku merasa pernapasanku kembali normal meski jantung kian berdegup kencang.
“Dan tindakan juga lebih penting. Hei, cepat kita selesaikan jangan banyak bicara!”
“Kau sekretarisku dan itu tugasmu.”
“Kalau begitu jangan menganggu.”
“haha.. tenanglah sedikit, aku cuma bercanda.”
Beberapa detik kembali senyap. Dari arah samping kau begitu cantik. Padahal ini hanya sebagian dari keindahan dunia.
“Hey, apa menurutmu ucapan selalu menipu?” kau bertanya.
“Nggak selalu.”
“Bahkan dari seorang yang kau percayai?”
“Kenapa kau bertanya seperti itu?”
“Yaah.. aku jadi ingat seorang teman. Menurutku, ucapan itu bisa menipu meski dari seorang yang kita percayai. Seperti kejadian pada temanku. Ia percaya bahwa kekasihnya sangat mencintai dia, tapi ternyata di balik kata-kata kekasih itu samasekali tidak ada kesetiaan. Lelaki selalu seperti itu ya? Aneh? Dan dari sanalah bahwa  cinta harus adanya pembuktian bukan sekedar ucapan.”
“Untuk meyakinkan, aku rasa cinta juga perlu adanya sebuah ungkapan, Seenggaknya aku pernah baca mengenai psikologi, bahwa perempuan perlu sanjungan, pujian, dan ucapan mesra dari kekasihnya, seperti…,” aku menatapmu dalam, mencari dunia yang membuatku merasa indah, “‘aku sangat mencintaimu’, misalnya.”
“Haha… Yah, kuakui, sebagai perempuan aku juga tahu itu. Tapi untuk sekarang, kurasa aku belum membutuhkannya. Ah sudahlah, ayo kita selesaikan tulisan ini.”
Dari pembicaraan itu aku mengerti kau hanya butuh waktu. Terlalu cepat bila ada seseorang mengungkapkan rasa ini padamu. Apa yang harus kulakukan berusaha ada di sampingmu. Dan keinginan ini tak semudah yang kubayangkan. Untuk sekedar melihatmu dari jauh pun, begitu sangat sulit. Hanya doa-doa yang tak pernah alfa dipanjatkan.
Satu moment itu menjadi sebuah kebersamaan yang sangat berkesan. Meski tempat kita sama, entah untuk bertemu denganmu tak semudah itu. Perjumpaan singkat hanya diselipkan  dengan senyuman kecil. Lambat laun, hari demi hari, aku merasa kau semakin menjauh, menghindar dari hatiku yang terus merindukanmu.
Aku tak mengerti apa yang terjadi. Padahal untuk menanyakan melalui pesan singkat mudah saja. Tapi bukan itu masalahnya. Aku butuh pengakuanmu tapi aku bukanlah siapa-siapa. Keadaan inilah yang sangat kubenci. Benarkan kegengsian ini menjadi sebab rindu yang tak tertuntaskan.
Telah kusiapkan kalimat-kalimat untuk mengungkapkan perasaan ini. Tapi aku takut, seperti yang kau katakan belum membutuhkannya. Aku takut kedekatan kita menjadi rapuh bila aku mengatakan semuanya. Maka apalah daya, kusimpan saja perasaan ini sampai berkepanjangan. Mungkin, sampai aku lupa bahwa aku akan mengatakannya.
Sampai sekarang aku masih mengingat kenangan kita. Sampai aku menemukan cara terbaik; bahwa untuk mencintaimu dengan melupakanmu.


Cirebon, 11 November 2015

Posting Komentar

0 Komentar