Seperti pagi yang telah dilalui, kuteguk secangkir kopi hitam dengan sedikit gula. Asapnya terus mengepul ke udara layaknya menyapa sunyi. Kopi hitam yang terasa pahit sengaja kuseduh menyeimbangi suasana pagi ini; hitam dan pahit.
Setelah tegukan kedua, kutaruh secangkir kopi itu di atas meja. Parlin masih sibuk menyetrika pakaiannya. Tepat di samping tempat aku duduk. Pria berambut gimbal, kulit sawo matang, dan terlihat modis itu satu-satunya kawan kosanku. Ia suka
sekali berbelanja pakaian ke mall-mall.
Aku beranjak menuju kamar mengambil laptop. Teringat tulisan semalam yang belum terselesaikan. Karena semalam ketiduran buku-buku di kamar masih berantakan. Saat sunyi, buku dan laptop menjadi kawan terbaikku. Ketika Parlin sibuk berbelanja pakaian dan jalan bersama kekasihnya, aku memilih menyibukan diri ke kedai kopi hanya untuk membaca buku.
Tapi, entah kenapa, pagi ini mataku terus memandang kenangan-kenangan yang terasa gelap dan hati selalu merasakan kepahitan.
Aku kembali ke ruang tamu, duduk dan membuka laptopku. Asap kopi masih terus mengepul. Namun tak lama, terdengar ketukan pintu dari arah luar. Suaranya tak pernah kukenal sebelumnya. Ah, siapa yang kemari pagi-pagi benar begini?
“Siapa, San?” Sahut Parlin
“Ngga tahu.” Bahuku naik dan ditarohnya kopi di meja setelah tegukan ketiga.
Aku beranjak menuju pintu meninggalkan laptopku yang belum kunyalakan. Pintu kubuka, seorang lelaki memakai jaket dan helm berwarna orange berdiri di depan pintu seperti patung penjaga rumah. Instingku berkata bahwa ia adalah kurir.
“Benar ini rumahnya Pak Sanja?” Tanyanya ramah.
“Iya, benar.”
“Ada kiriman paket untuk Pak Sanja.”
Aku memandang benda yang terbungkus di tangannya itu, berwarna cokelat. Sebentar dulu, perasaan aku tidak pernah memesan apapun kepada seseorang. Lalu kenapa bungkusan itu ditujukan kepadaku.
Dengan penasaran aku mencoba menerima bungkusan itu, barangkali salah alamat. Tapi benar, benda cokelat kecil tertulis namaku beserta jelas alamatnya.
“Maaf, Pak, kalau boleh tahu siapa yang ngirim bungkusan ini?” ingin aku mengatakan barangkali salah alamat, tapi jelas tertara alamat di sana yang menunjukan alamat kosanku.
“Maaf, saya juga kurang tahu, Pak. Permisi.” Ya, memang pertanyaan yang tak perlu ditanyakan. Lelaki itu bergegas begitu saja usai meminta tanda tangan. Menaiki sepeda motornya dan lenyap di ujung kabut pagi.
Aku kembali masuk dengan bungkusan di tanganku.
“Siapa, San?” tanya Parlin, ia menghentikan setrikaannya.
“Kurir.”
Parlin memandang bungkusan cokelat di tanganku.
“Bungkusan apa? Dari siapa?”
“Ngga tahu.”
Bukan saatnya untuk memikirkan hal yang tidak pasti. Apalagi bungkusan yang tak jelas ini. Aku kembali duduk dan perlahan kulempar pelan ke atas meja, tepat di samping kopi yang terlihat sudah kehilangan kehangatannya. Kunyalakan laptopku.
“Hei, San, kau ini main lempar-lempar barang begitu saja. Siapa tahu isinya bom! Ya bisa jadi, kan, kalau seseorang mengirimkan sesuatu tanpa ditulis pengirimnya, ia pasti orang yang memiliki dendam atau memberikan sebuah ancaman,” ujarnya mengada-ngada. “Tapi, bisa juga, sih, biasanya orang yang ngirim memiliki perasaan diam-diam dan, pasti ia sangat romantis.”
Dia memang selalu menerka-nerka sesuatu, kebanyakan nonton drama. Namun bila dipikir lagi, ada benarnya juga. Aku berusaha menarik masa lalu. Tapi selama ini sama sekali tak pernah berkelahi atau bermasalah apapun dengan seorang hingga membuatnya dendam kepadaku. Dan ketika membayangkan gagasan Parlin kedua, mengingatkanku pada Sania yang setahun silam meninggalkanku. Ia yang telah membuat hidupku kembali menjadi gelap dan pahit. Ah, sudahlah, aku tak mau lagi mengingatnya. Cukup.
“Kau ini kalau dikasih sesuatu ngga bersyukur, San,” sahutnya lagi. “Saya buka deh bungkusannya.”
Parlin menggeletakan pakaian dan setrikaannya serta bergegas mengambil bungusan seolah tidak mengingat gagasan pertamanya bahwa paket itu sebuah ancaman. Aku membiarkannya seakan menyamakan apa yang dipikirkan Parlin.
Parlin segera merobeknya, mengeluarkan isinya.
“Cokelat, San.”
Hah, cokelat? Aku terperanjat. Kenapa bisa?
“Ada suratnya juga.”
Surat? Kali ini, aku langsung merampas surat itu seolah kertas itu sebuah peta harta karun tanpa ingin orang lain mengetahuinya.
“Selalu, San, kau lebih menyukai tulisan dari pada makanan. Kalau begitu, cokelat ini adalah bagianku, dan kau makan saja itu kertas. Hahaha.”
Aku tidak menghiraukannya. Pandanganku hanya pada dua lembar surat di tangan. Kertasnya berwarna cokelat dan tulisan ini sangat kukenal. Baunya seperti biji kokoa yang baru dipetik dari pohon. Aku segera membacanya ...
Akhirnya tulisan ini sampai kepadamu setelah melewati ampas-ampas pahit masa lalu. Bersama asap kenangan yang muncul dari kopi pahit hangatmu, aku tahu, sekarang kau sedang menikmati kopi, bukan? Aku tahu sebab di sini pun aku selalu merasakannya; sebuah kehidupan pahit yang begitu kental.
Setelah membaca surat ini, kau pasti mengingat kembali masa-masa silam. Di sebuah kedai itu, ketika kau duduk seorang diri sambil membaca buku dan hanya memesan secangkir kopi. Lalu diteguknya dengan sayup mata terpejam seperti orang merasakan kehidupan yang pedih. Aku yang terduduk sendiri dengan Sweet Chocolate di tanganku yang selalu kubawa kemanapun, tak henti memperhatikan dan mencoba mendekatimu.
“Kau menyukai kopi pahit?” Tanyaku menebak cangkir itu berisi kopi pahit.
“Ya,” katamu. “Sesuai hidup ini yang selalu dipenuhi dengan rasa pahit.”
“Kenapa kau tak menuangkan rasa manis dalam hidupmu, agar hidup ini lebih renyah dan indah?”
“Kata siapa pahit itu tidak indah? Bila seseorang sudah terbiasa hidup dalam kepahitan ia akan menjadi lebih kuat. Ia memiliki perasaaan yang penuh kepedulian. Sedang mereka yang selalu menikmati rasa manisnya, hanya mementingkan dirinya sendiri.”
Dari biacarmu aku paham kau termasuk orang yang keras kepala dan bukti banyak membaca buku. Tapi entah, aku menemukan sesuatu yang berbeda darimu. Ah, apalagi kau menyukai rasa pahit itu. Saat itulah, aku menemukan apa yang kucari dalam hidupku.
“Kata siapa rasa manis tidak memiliki rasa kepedulian?” Sergahku dan kau terdiam.
Seketika secangkir kopi pahit seakan menyapa keheningan. Lalu kumasukan Sweet Chocolate ke dalam kopi pahitmu. Kuaduk hingga menyatu, terus bereaksi dan takkan bisa lagi terpisahkan. Tapi kau tak bergegas apapun, ini yang membuatku tersenyum.
“Kopi pahit dan Sweet Chocolate,” katamu di tegukan pertama. “Sebuah perpaduan rasa yang begitu indah, lembut dan menghangatkan. Aku baru pertama kali merasakan ini.”
Aku yakin kau pasti tak pernah melupakan malam itu, seperti peristiwa bertemunya sepasang kekasih setelah lama berpisah. Kita mulai terbiasa berbincang. Kau bercerita selalu mengunjungi di kedai, dan malam itu pertama kalinya meminum kopi pahit. Hidup seorang diri. Hingga keseringan bermain ke kosanmu membuatku menyukaimu.
Setiap pagi, saat itulah kau tak sendirian lagi. Aku selalu berada di sisimu dengan Sweet Chocolate-ku.
Pernah saat mencoba menggantikan Sweet Chocolate dengan Milk Chocolate, tapi kau tidak menyukainya. Katamu, “biarlah aku memandang itu hitam tapi terasa manis, Sweet Chocolate-mu telah mengubah pagiku menjadi menyenangkan.”
Ya, aku memahaminya, karena memang Milk Chocolate bila dilelehkan oleh kopi pahitmu yang ganas mudah sekali hangus. Kau memang satu-satunya lelaki yang kukenal dengan memiliki sebuah pilihan yang tetap dan memiliki perasaan yang kuat...
Cahaya pagi mulai menubruk jendela. Dan perlahan mengelus ruangan ini menjadi lebih terang yang membawaku kembali pada masa lalu. Aku melanjutkan pada lembar kedua dan kembali membaca ...
Minggu menjadi bulan, dan bulan hampir berganti tahun. Aku tidak bisa melawan waktu hingga terpaksa memilih menjauh darimu, dari pagimu. Mungkin, sekian lama aku pergi, saat inilah kau akan mengetahui apa yang terjadi. Ketika perusahaan Chocolate ayahku mengalami musibah. Pabrik Chocolate-nya terbakar menghanguskan seluruh isinya. Tak ada lagi yang tersisa hanya puing-puing kayu menjadi arang. Asap hitam mengepul mengerikan yang mengingatkanku pada kopi pahitmu.
Setelah kejadian itulah hari-hariku tak lagi bersama Sweet Chocolate. Aku merasa telah kehilangan duniaku yang indah. Tak lagi memiliki Sweet Chocolate untuk kopi pahitmu di setiap pagi; menemanimu. Aku memilih pergi karena hidupku merasa tak lagi berguna. Tak lagi membuat kopi pahitmu menjadi manis. Tapi aku pasti merindukan perpaduan kopi pahit dan Sweet Chocolate itu, yang membuat bibirmu menjadi menis dan aku merasakannya dengan sentuhan lembut.
Ada hal yang tak kau ketahui dari Sweet Chocolate sekedar membuat manis kopi. Sweet Chocolate adalah sebuah simbol kenangan dan permohonan maaf; biarlah rasa manis itu menjadi kenangan saat kau membayangkannya; biarlah Sweet Chocolate terakhirku ini menjadi ucapan maaf pada kopi pahitmu. Maafkan aku yang tak lagi menemanimu saat pagi. Tapi, ada satu lagi yang lebih penting dari itu. Jadikan Sweet Chocolate terakhirku menjadi obat menenangkan saat kau merasakan kembali bahwa hidup ini terasa pahit.
Salam.
Sweet Chocolate, yang merindukan kecupan di bibirmu.
Kulipat surat ini dengan tetesan air mata. Kulirik Parlin sudah selesai menyetrika pakaiannya dan menghabiskan
Sweet Chocolate terakhirku.[]
Dimuat dalam tabloid Kirana Edisi 63
0 Komentar