Surat Kematian





Semalaman Malik tak bisa tidur nyenyak. Di atas ranjang ia begitu gelisah. Tapi hatinya terus berdoa dan mulutnya tak henti berkomat-kamit. Baru pertama kali dalam hidupnya merasakan ketakutan seperti itu.
Bermula saat pagi ia mendapati sebuah surat tergeletak di pintu depan. Sebelumnya, terdengar suara gedoran begitu keras dari luar seperti seorang rentenir menggedor pintu rumah yang setahun belum bayar angsuran. Tubuh Malik yang kekar dan bertato terlukis di dada serta lengannya mendengar suara itu membuat dirinya naik pitam. Tapi setelah membuka pintu, tak ada seorang pun di sana. Ia memeriksa sekeliling halaman, tak ada seorang pun di sana. Dan, yang ia temui sebuah kertas tergeletak di depan pintunya.
Malik penasaran apa isi kertas itu lalu kembali masuk ke kamar. Tangan Malik bergetar hebat setelah membukanya, kakinya terasa lemas seakan tulang-tulang kerasnya menjadi lembek sepereti tubuh mollusca. Tubuhnya yang kekar berotot dan bertato itu terasa tak ada apa-apanya setelah membaca kertas itu. Ya, kertas tersebut berisi surat kematian dirinya pada esok pagi.
Orang mana pun yakin pasti tak mempercayai surat itu karena sama hal sebuah lelucon belaka. Tapi di kampung mereka, sudah dua kali orang mati tak wajar setelah mendapatkan surat seperti itu—yang kini disebut surat kematian. Kematian mereka tepat apa yang tertulis pada surat tersebut.
Pertama, seorang petani mendapati surat itu ditemukan di depan pintu rumahnya. surat itu bertuliskan bahwa ia akan mati satu minggu kemudian. Ia mengabari ancaman itu ke semua orang tapi tak ada yang mempercayai surat itu. Mereka menganggapnya hanya sebuah ancaman orang jail. Tapi apa dikata, seminggu berlalu petani itu mati ketika sedang mencangkul di sawahnya sesuai waktu tertulis di surat.
Seluruh warga kampung pun geger atas kematian tak wajar sang petani. Sebagai orang-orang yang mempercayai sebuah mitos, ancaman surat kematian itu mereka percayai, bahwa surat itu merupakan tanda-tanda dari kematian seseorang yang berasal dari malaikat. Tapi bagi tokoh masyarakat, seperti kyai, sama sekali tak mempercayai kematian yang sudah ditentukan itu
“Kematian itu rahasia Allah, manusia sama sekali tak memiliki pengetahuan tentang hal itu.”
Sepatah kata yang disampaikan kyai tersebut sedikit memadamkan kegelisahan seluruh warga kampung. Meskipun beberapa kepala masih ada yang mempercayainya. Sebulan setelah kejadian, surat kematian itu kembali datang pada seorang mentri agama di kecamatan tersebut.
Tentunya, mentri agama itu pun sama sekali tak mempercayai surat kematian tersebut bahwa dua hari lagi ia akan mati.
“Hanya orang bodoh yang percaya pada hal aneh seperti ini.”
Meskipun ia bekerja di pemerintahan yang mengatur kesejahteraan agama, sebenarnya ia telah korupsi diam-diam, seperti ‘menjilat’ uang haji, uang zakat, dan masih banyak lainnya. Tapi pihak hukum belum mengetahui kejahatannya karena cara ia sungguh profesional. Memang, ia salah satu teladan di mata masyarakat itu, ia sering mengisi pengajian. Jadi, warga pun tak melihat sesuatu yang ganjil padanya.
Bila nafsu dunia sudah di depan mata, setinggi apa pun iman seseorang kemungkinan bisa terjatuh juga. Hal itu terjadi pada seorang mentri tersebut. Ia berpikir, amal baiknya sudah banyak, tak apa korupsi sebentar, nanti tobat lagi. Toh, Tuhan kan maha pengasih dan maha penyayang.
Ia melupakan surat kematian yang tak ia percayai bahwa dua hari kemudian ia akan mati. Benar saja, dua hari berlalu ia tergeletak mengenaskan di kamar mandi. Mulutnya berbusa dan matanya melotot seolah ingin meloncat dari tempatnya.
Kematian mentri tersebut pun menyebar sekecamatan dan diberitakan di media cetak. Ia mati dalam keadaan tak wajar. Setelah diotopsi dan diidentifiasi ke rumah sakit, barangkali terjadi pembunahan atau bunuh diri karena meminum racun, sama sekali tak ada bahan berbahaya. Jadi, semua warga saat itu mempercayai surat kematian yang entah dari mana asalnya.
Dan, salah satu yang mempercayai surat kematian itu adalah Malik. Seorang preman dan pemabuk yang sering nongkorng di pojok jalan. Setelah mendapati surat di pagi itu, satu hari ia terlihat gelisan. Ia tak memberitahu kepada siapa pun mendapatkan surat kematian yang menurutnya adalah giliran dirinya bahwa esok akan mati.
Di kamar ia membayangkan di hadapannya ada malaikat pencabutnya nyawa yang sudah siap dengan golok di tangannya yang kapan saja membrojoli nyawanya. Ia teringat dosa-dosa yang telah dibuat selama hidupnya. Ia membuka laci, uang-uang rampasan dulu tergeletak di sana. Ia melihat uang itu seperti belatung bergeliat panik. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Dalam benaknya ia ingin mengembalikan uang itu kepada pemiliknya yang telah ia rampok dan curi. Sayang, terlalu banyak orang ia rampok dan melupakannya. Dompet-dompet berisi identitas korban pun sudah ia buang.
Ia berpikir bila uang haram tersebut tak dihabiskan, dan setelah ia mati, maka ada orang yang mengambil uang tersebut lalu menggunakannya. Tentunya, ia merasa berdosa dua kali lipat. Ia telah memberi kesempatan orang lain manikmati uang haram hasil rampasan dirinya sendiri. Jadi lebih baik ia nikmati rasa pedih dan sakit itu sendiri tanpa orang lain merasakannya.
Menjelang siang, pertama ia pergi ke rumah sakit dengan membawa uangnya itu. Ia ingin bertemu dengan seorang dokter kulit untuk menghilangkan tato-tato pada seluruh tubuhnya. Sekitar beberapa jam tubuhnya bersih meski permukaan kulitnya berantakan seperti luka bakar yang baru sembuh.
Usai dari rumah sakit ia pergi ke pasar membeli sarung, peci, baju koko dan minyak wangi. Sehari sebelum mati ia ingin banyak beribadah. Tak lupa ia membeli kain kafan beserta kapasnya, ia tak ingin merepotkan orang lain ketika hembusan napas terakhirnya keluar. Mungkin ia satu-satunya orang paling beruntung mengetahui kapan ia akan mati.
Sebelum kembali ke rumah, ia berbelok ke sebuah salon. Rambutnya yang gondrong ia potong pendek dengan rapih. Setelah bercermin memastikan penampilannya, barulah ia kembali ke rumah bersamaan dengan waktu dhuhur.
Perlengkapan shalat yang telah dibelinya, ia pakai dan bergegas menuju masjid. Di pojok jalan, kawan-kawan peminumnya terheran melihat Malik berpenampilan seperti itu. Mata mereka melihat Malik, seperti kamera lensa yang akan memotret titik fokus pada objek yang aneh.
Malik tak menghiraukan mereka dan langung memasuki masjid. Ia bersimpuh pada Tuhannya meminta tobat atas dosa-dosa yang telah diperbuat. Setelah salam, imam shalat melihatnya merasa bangga karena Malik yang selalu nongkrong di pojok jalan kini telah menemukan jalan hidupnya.
Usai dari masjid, ia bergegas menuju pemakaman. Ia memesan tanah kepada penjaga kuburan. Ia memilih tanah di sebelah makam mentri agama yang telah mati seminggu lalu karena surat kematian itu juga. Nanti ketika berada dalam kubur, ia ingin sekali berbincang atau berdiskusi bersama menteri tersebut. Membicarakan siapa yang selalu mengirim surat kematian itu.
“Pak, saya pesan tanah sebelah sana. Kalau bisa gali sekarang juga.”
“Loh,  emang siapa yang mati?”
“Setiap orang akan mati, cuma bedanya ia ingat atau tidak.”
Setelah memberi uang jalan kepada penjaga kuburan, ia bergegas ke rumah kembali. Ia gelisah apakah akan mati khusnul khotimah atau sebaliknya.
Tak terasa hari sudah menjelang malam. Kematiannya dalam hitungan jam lagi. Ia tak bisa tidur dan biasanya pun seperti itu.
Memang sebelumnya, tiap malam ia selalu berada di pojok jalan bersama kawan-kawannya. Berjudi dan mabuk bersama. Ia teriak dan tertawa bebas sekencang-kencangnya tanpa beban. Tapi sekarang ia tergeletak di ranjang yang akan menjadi saksi kematiannya. Ia juga teringat pernah menggoda setiap perempuan yang lewat di pojok jalan itu. Bahkan, ada perempuan yang pernah ia perkosa.
Malik terus membayangkan kehidupannya yang gelap selama di dunia. Apakah setelah meninggalkan dunia ia masih berada dalam kegelapan? Dan, sepanjang malam itu, hati Malik terus beristighfar, mulutnya komat-kamit berdzikir sampai suaranya tak karuan karena rasa gelisahnya. Malam terakhir bagi dirinya dan mungkin takkan lagi melihat pagi. Seluruhnya dihabiskan untuk beribadah.
Jam dinding menunjukan pukul empat kurang. Limabelas menit lagi, berarti ia akan mati. Hatinya semakin gelisah. Tubuhnya terasa dingin tapi keringat bercucuran. Tepat pukul empat, akhirnya ia menghembuskan napas terakhirnya. Malaikat menyapanya dari wajahnya. Mulutnya tersenyum dan wajahnya seolah bercahaya.
***
“Bukannya kamu preman bejat itu, mengapa tempatmu terang? Tidak adil!” gertak mentri agama yang korupsi itu.
“Kamu melupakan kematian dan nafsu dunialah yang merasa dirimu tidak adil,” sahut Malik dari dalam kubur yang berdekatan itu. “Oh ya, saya mau bertanya. Apakah kamu tahu dari mana asal surat kematian itu?”
Tapi tak ada jawaban lagi. Semua penduduk di sana kini hanya sibuk sendiri dengan jeritan, tangisan, tawa lembut dan senyuman melengkapi dunia mereka.[]

Cirebon, Februari 2015
*Dimuat dalam METHODA EDISI 68/April 2015

Posting Komentar

0 Komentar