Gadis Lampu Merah



Barang siapa yang bertanya di mana tempat kebahagiaan itu, maka Meldy menjawab kebahagiaan itu berada di lampu merah, dengan ukulele yang selalu dibawanya, diiringi suara polosnya tapi menawan; begitulah ia menyederhanakan sebuah kebahagiaan.
Ia memanfaatkan waktu luang dengan mengamen di lampu merah kala menyala. Barang siapa yang melihatnya, pastilah merasa heran kenapa gadis seranum itu berada di tempat yang terik, tempat yang bising dan penuh keramaian. Hanya saja, pakaian dan tubuhnya yang tercium itu menandakan macam bau orang miskin.
Bermodal suara emasnya, begitu kata guru SMP-nya, ia tak punya rasa malu sedikit pun menjajakan suaranya itu di lampu merah. Panas terik dan polusi menjadi teman karibnya selama mencari uang. Meski begitu, ia adalah sedikit dari anak-anak jalanan yang masih merasakan bangku sekolah.
Jauh sebelum mengamen di lampu merah, kepada ayahnya, ia penah mengatakan ingin bercita-cita menjadi seorang model. Bagi ayah yang baik, pastilah akan mendukung apapun demi kebahagiaan seorang anak. Pernah suatu hari ia didafarkan oleh ayahnya pada kontes model yang berada di salah satu Mall. Namun sayang, ia urung diri karena tak punya kostum untuk kontes sebagai salah satu syaratnya dan tak punya uang untuk membelinya. Persediaan pakaian di lemari pun hanya seragam putih biru yang paling bagus dan itu pun dibelinya dua tahun lalu.
Harapan Meldy menjadi model mulai beringsut. Wajahnya begitu muram macam pengemis kelaparan tiga hari belum makan. Tapi ayahnya tak henti menyemangati anak satu-satunya itu. Suatu hari ayahnya mengajak Meldy ke lapangan untuk bermain layang-layang, berusaha meredakan kekecewaan Meldy.
“Lihat layang-layang itu,” kata ayah memulai pembicaraan sambil menarik ulur layang-layang. “Ada harapan yang selalu ingin diterbangkan agar orang-orang dapat melihatnya.”
Meldy menyipitkan matanya kala melihat ke arah langit, matahari yang berada vertikal tepat di ubun-ubun membuatnya silau.
“Banyak persaingan ketika layang-layang sudah berada di atas. Kita perlu memperjuangkannya agar tetap terbang dan stabil. Apabila terputus, kita juga harus berlari mengejarnya agar tidak dipungut oleh orang lain.”
Tak pernah sedikit pun Meldy lupa momen bersama ayah yang dicintainya itu. Di ulang tahunnya ke empat belas, ayah memberikan hadiah berupa ukulele. Meldy pun mengerti, karena ayahnya selalu bercerita ketika ayah masih sekolah dasar dan tak tamat, bahwa lelaki yang telah beruban itu memiliki jiwa seni musik yang begitu tinggi. Maka tak heran di ulang tahunnya, ia mendapatkan hadiah berupa gitar kecil empat senar tersebut. Kemana pun ia pergi, Meldy selalu membawa ukulele itu.
“Jangan dilihat ukurannya, sayang, biar pun kecil ukulele ini bisa menjadi temanmu saat kau merasa sendiri dan kesepian, apapun yang terjadi, kebahagiaan adalah sesuatu yang utama dalam hidup,” keduanya berpulukan penuh rasa cinta. “Biarpun kita hidup miskin, sesungguhnya ayah tidak merasa miskin karena ayah memiliki kamu dan ibumu. Justru orang yang menganggap tidak memiliki siapapun, mereka pantas disebut orang yang miskin.”
Di lampu merah itu, bayangan ayahnya tek henti melyang-layang di kepala Meldy. Dari mobil ke mobil melalui kaca pintu, ia terus memainkan ukulele dengan lihai yang pernah diajarkan oleh ayahnya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana jika ayahnya tak menghadiahkan ukulele itu, mungkin hidupnya seperti kelelawar yang terbang di siang bolong.
Meldy mulai merasakan, kebahagiaan yang telah pergi hanya menyimpan rasa sakit apabila dikenang. Begitu rasa perih Meldy ketika ayahnya meninggal dunia. Dan ia sadar waktu tidak bisa diputar kembali untuk sebuah kebahagiaan. Ayahnya meninggal karena tertabrak lari. Hatinya mula terpukul atas kehilangan seorang lelaki yang dicintainya itu. Rasa sepi dan sendiri adalah teman dekatnya di setiap waktu. Namun berkat ukulele yang dihadiahkan oleh ayahnya, sedikit menehan rasa perih itu.
Meski Meldy masih mempunyai seorang ibu, nampaknya hidup yang penuh kejahatan datang juga setelah ibunya menikah kembali dengan seorang karnet bus antar kota, Rakus namanya. Satu tahun sudah ia hidup bersama ibu dan ayah tirinya di rumah mungil tapi nampak sederhana. Bila malam tiba, para tetangga yang melewati rumah tersebut akan selalu mendengar bunyi keributan, perabotan dapur yang dilempar, bunyi piring pecah, kaleng kue kosong bekas lebaran melayang keluar pintu, dan kata-kata kotor dari seorang karnet bus itu. Rakus selalu naik pitam apabila Meldy pulang tak membawa uang.
“Anak sialan, enyah sana,  jangan kembali sebelum bawa uang!”
Tak pernah dibayangkan Meldy akan memiliki ayah tiri sekejam itu. Ia layaknya anjing pesuruh diperlakukan sesukanya oleh ayah tirinya. Bau alkohol di mulut yang terciumnya paham lelaki bejatu itu ialah seorang pemabuk. Ibunya tak bisa berbuat apa-apa. Jadi, supaya dapat masuk ke rumahnya ia harus membawa uang.  Bagaimana pun caranya. Maka, gadis siswi SMP itu pun terpaksa menjadi pengamen di lampu merah.
Meldy tidak mengerti bagaimana ibunya bisa menikah dengan Rakus. Sebelum Rakus menikah dengan ibunya, ia sering melihat Rakus datang ke rumah, setelah ayahnya meninggal dua bulan kemudian. Meldy menganggap Rakus hanyalah lelaki yang menagih hutang almarhum ayahnya. Namun tampaknya Meldy merasa ada sesuatu yang ganjil. Tapi ibunya tak pernah bercerita sepatahpun.
Benar saja, setiap setelah pulang sekolah, Rakus sudah ada di rumahnya. Sebelum masuk ke rumah ia mengenali sandal jepit itu. Nampak terkejut ketika ia memasuki pintu, terdengar bunyi erangan di dalam kamar ibunya. Meldy mengendap dan mengintip di balik pintu yang tak terkunci. Seperti mimpi buruk ketika ia meliihat Rakus dan ibunya di dalam kamar. Dadanya terasa sesak dan air mata perlahan keluar. Meldy tak pernah membayangkan mereka berbuat seperti itu.
Dada Meldy begitu bergemuruh. Ingin meledak. Tapi ada rasa takut dalam dirinya. Entah apa. Ia nyaris tak bisa bicara. Kakinya terasa berat, begitu lemas dan tubuhnya kaku. Rasanya ingin sekali menghantam kepala lelaki bejat itu dengan ukulele di tangannya. Brug.. Akhirya ukulele lepas dari tangannya. Mengejutkan Rakus dan ibunya yang di dalam kamar, mereka segera beremas merapihkan pakaian. Meldy pun ikut terkejut tuk kedua kalinya. Tanpa sadar ia berlari meninggalkan rumah.
Esoknya, ibunya bercerita, “Ibu tak bisa membayar utang ayahmu dulu, dan akhirnya tubuh ibu yang dia ‘ambil’, Nak. Maaf kan ibu..” Isak ibunya. Meldy paham meski tak terima. Tapi ibunya tak mungkin ingin melakukan perbuatan hina itu, lelaki bejat itulah yang telah memerkosanya. Namun akhirnya Rakus pun menikah dengan ibunya.
Semenjak itu, lampu merah menjadi bagian hidup Meldy. Awalnya memang berat, lama-lama terbiasa. Apalagi ia dapat menambah banyak teman sekedar di sekolah. Teman-teman seperjuangan di lampu merahnya itu lebih memahami dirinya. Beruntung hari itu guru-guru SMP-nya akan rapat, sekolah dibubarkan dan ia bisa ke lampu merah lebih awal dari biasanya. Ia mengganti seragam sekolah dengan kaos yang telah dibawanya di dalam tas. Tas yang cukup besar hingga muat ukulele. Agar tak begitu repot ia titipkan tas itu ke rumah temannya dan diambil sore nanti.
Meldy memilih perempatan lampu merah yang paling besar. Sebab, durasi waktu lampu merah menyala lebih lama, hampir satu setengah menit. Dalam rentang waktu itu biasanya ia mengocek uang hanya dua ribu rupiah. Atau bahkan tidak dapat sama sekali. Sebab yang mengamen di lampu merah itu bukan hanya ia sendiri. Banyak sekali pengamen, sampai pengemis bahkan pedangang asongan. Yang memberinya uang itu pun barangkali orang-orang yang merasa kasihan kepadannya.
Sore itu ia cukup beruntung dapat hasil lebih banyak dari biasa. Tapi seberapa pun uang yang didapat tetap saja saat sampai rumah, langsung disikat oleh sang ayah tiri. Hal-hal yang tak diharapkan selalu terbayang olehnya.
Senja sudah menampakan diri dengan warna kejinggan yang begitu ranum. Udara sudah mulai hangat daripada siang tadi. Mesin-mesin kendaran masih terdengar kala Meldy sudah memasuki belokan ke gang menuju rumahnya. Sebelum maghrib ia harus berada di rumah, dan tentunya membawa uang. Bau comberan dan sampah berserakan menjadi pemandangan menyebalkan dan ingin muntah jikalau engkau melintasi gang itu. Wirog-wirog seringkali muncul di celah-celah gang. Tempat itu sangat sepi layaknya kota mati yang hanya dihuni oleh makhluk-makhluk menyedihkan.
Meldy terus melangkah menyusuri gang itu, cukup panjang untuk sampai ke rumahnya. Di tengah perjalanan ia melihat sekawanan makhluk yang belum pernah ia lihat. Sebanyak tiga orang tepat berdiri di hadapannya. Seluruh tubu Meldy bergetar ketakutan.
“Manis, serahin uangnya dong,” salah satu dari mereka mencoba merayu dengan nada ancaman.
“Engga ada!” Meldy berusaha menerobos ketiga lelaki itu.
“Jangan terburu-burulah..” seorang berambut cepak dari mereka segera merampas tas Meldy. Gadis itu sekuat tenaga mempertahankannya. Ia sadar di tas itu tersimpan uang hasil mengamennya. Tapi sayang Meldy tak mampu mempertahankannya hingga terdorong jatuh.
Melihat uang di dalam tas itu terbilang cukup banyak ketiga lelaki itu girang. Setelah mengawasi keadaan sekitar cukup aman mereka meletakan tas begitu saja dan serega kabur. Meldy yang terkapar di sana tak henti menitikan air mata. Ia tak mempermasalahkan seberapa uang yang dirampasnya, tapi tak mampu membayangkan bagaimana ayah tirinya akan berbuat padanya. Perjalanan pulang kali ini ia merasa ketakutan teramat dalam dan tak henti menyalahkan diri sendiri.
Azan berkumandang setelah ia sampai ke rumah. Tak ada yang menjawab salam darinya. Biasaya ibu langsung menjawab salam dengan nada khawatir, Kali ini rumah begitu sepi.
“Hei lama sekali kau pulang,” Meldy terperanjat mendengar suara tiba-tiba itu. “Mana uang hari ini?!”
Meldy terdiam, tubuhnya terasa begitu bergetar. Ia tak tahu akan menjawab apa. Setiap ayah tirinya membentak minta uang, ia merungut dengan kepala tertunduk serta mata terpejam.
“Ngga ada, yah,” pelan dan bergelombang.
Tanpa pikir panjang, sebuah tamparan mendarat di pipi Meldy. Ia meringis kesakiatan sampai terjatuh di sofa. Rakus segera memeriksa tas, celana dan baju yang memungkinkan uang itu disembunyikan. Benar sama sekali tak menemukannya, hanya ukulele yang tersimpan. Lelaki berbadan tegak yang sedikit berbau alkohol segera mengambilnya dan membanting karena rasa kesal. Meldy tak bisa berbuat apa-apa hanya tangisan kecil yang menyesakan dada.
“Anak sialan!” sebuah telapak tangan kasar kembali melayang ke pipi Meldy.
“Ibu..”
“Ibu, ibu, ia sudah enyah… Sini..” Ayah tiri menarik paksa Meldy ke suatu kamar. Karena begitu lelah dan rasa ketakutan mudah saja Meldy mengikuti perintah Rakus. Ia tak tahu apa yang akan dilakukan kepadanya.
Lelaki kasar itu membantingkan Meldy ke tempat tidur. Tamparan bertubui-tubi memenuhi wajahnya. Dunia baginya semakin gelap. Tubuhnya terasa lebih dingin. Sesuatu benda kasar menindih tubuhnya. Pikirannya semakin kosong dan pandangan matanya kian meredup. Sebelum semuanya terasa gelap, ia memandang bingkai pernikahan ayah dan ibunya yang tergantung di dinding kamar itu.

“Ayah.. Ibu..”

Posting Komentar

0 Komentar