Angin Juni menerbangkan layang-layang itu menuju langit. Dan layang-layang itu pertanda sebagai datangnya musim kemarau. Panas matahari bergelora sedang anak-anak di padangilalang itu semakin bersemangat menarik-ulurkan layang-layang mereka.
Nun jauh di timur padang ilalang, seorang lelaki tua berjalan macam orang tersesat. Memakai kaos, sandal jepit, kepala didesain topi koboi, dan tas besar digendongnya. Kemudian,dilihatnya anak-anak sedang bermain layang-layang itu.Tidak ada hujan, lelaki tua itu malah tersenyum dari wajah yang hitam dan keriput.
Lelaki tua itu mengamati para pemain layang-layang. Ketika layang-layang menyentuh tanah, salah seorang teman bergegas lari menghampiri layang-layang itu, memegangnya, memasang kuda-kuda siap diterbangkan, sedang salah satu temannya segera menimba benangnya, layang-layang kembali terbang.
Selama musim kemarau, sudah menjadi tradisi turun-temurun ketika bermain layang-layang, bukan hanya menerbangkan, tapi bersaing memutuskan benang antara layang-layang satu dengan layang-layang yang lain. Dan hal yang paling ditunggu-tunggu adalah, mengejar layang-layang yang terputus menjadi hak umum sebagai tumbal kekalahannya. Dan tak lama, benang layang-layang putus, segerombol anak ingusan itu segera mengejarnya, layang-layang yang masih mengapung dibiarkan demi mendapatkan layang-layang yang terputus.
Angin membawa layang-layang terputus itu oleng macam kucing sedang mabok,dan layang-layang itu tepat mendarat di hadapan lelaki tua di ujung timur sana. Dengan respon sebaik mungkin lelaki tua bertopi koboi itu menangkap benangnya. Anak-anak yang berkompetisi mengejarnya sampai tergopoh-gopoh itu mulaikesal. Sekitar ada lima anak.
“Kembalikan layang-layang kami! Kami yang bermain kenapa kau yang mendapatkan?” seru salah satu anak itu.
“Kalau kalian mau, silakan ambil sendiri!” Tantanglelaki tua itu sambil berlari membawa layang-layangnya.
Kesal.Segerombolan anak itu pun langsung mengejarnya. Maka, ajang kejar-kejaran pun terjadi.Pastinya anak-anak tak ingin kalah.Bagi mereka, siapa yang bermain dialah yang harus mendapatkannya. Terputusnya layang-layang suatu pertanda kekalahan dan kemanangan, dan itu harus dirayakan sebagaimana mestinya.
Di padang ilalang itu kini seperti terjadi pertunjukan rantai makanan, antara hewan carnivore dan herbivore. Di mana anak-anak macan sedang mengejar satu rusa kurus, anggap saja sebagai latihan. Namun rupanya, rusa berlari lebih cepat. Namun nyatanya, anak-anak macan itu tak patah semangat.
Kemarau melahirkan panas begitu terik.Menguras energi dan menghitamkan kulit para pemain layang-layang. Setengah jam berlalu, anak-anak itu mulai lelah, napasnya putus-putus. Ada yang terjatuh kasihan karena lemas, tapi bangit lagi, tapi tak berlangsung lama. Sedang lelaki tua bertopi koboi itu puas melihat kekalahan mereka.Ia ternyata sangat kuat macam atlit prefesional pensiunan layang-layang. Mungkin inilah sejarah di kampung mereka yang harus ditulis, rusa mengalahkan anak-anak macan.
“Sudah, kalian menyerah saja,” enteng lelaki tua itu.
“Itu layang-layang kami, kembalikan!” mohon salah satu anak bersamaan dengan napas seperti orang sekarat.
“Benar, itu milik kami, Pak Tua. Kamu jangan mengambil sesuatu yang bukan hakmu.”
“Bukan karena kami lemah, kamu bertingkah sesukamu, Pak Tua.”
Bukannya didengarkan, lelaki tua itu malah mengambil buku kecil dari tasnya, lalu dibuka, macam polisi lalu lintas membuka buku undang-undang ketika terkejut ditanya oleh yang ditilang, pasal berapa terkait penilangan di lalu lintas?
“Sebentar,” kata lelaki tua itu. Benar! Mirip sekali polisi! “Berdasarkan buku ini ditulis, bahwa layang-layang yang sudah putus akibat pertarungan antara layang-layang lain, barang siapapun berhak mengejarnya, memilikinya, entah dari kaum konglomerat atau kaum antah berantah, entah pedagang kaki lima, tukang semir, PNS, es keliling, rujak uleg, pemulung, musafir, atau siapa pun itu.”
Mendengar tingkah lelaki tua bertopi koboi itu seperti berpidato, mereka ternganga.Teori dari mana itu semua? Undang-undang dari mana? Biarpun mereka tahu bahwa layang-layang yang telah putus milik umum, mereka baru mengetahui ada pernyataan secara tertulis.
“Jadi sudah jelas, kan, layang-layang ini milik saya, saya yang pertama kali mendapatkannya. Hahaha..” Sekali lagi, lelaki tua itu merasa menang.Dunia terasa milik sendiri.
“Sebenarnya kau ini siapa?”
“Saya adalah perantau. Hahaha..”
Mereka tak puas atas jawaban bertopi koboi itu.
“Lalu di tanganmu itu buku apa? Aku tahu, ucapanmu itu hanya tipu daya untuk mengelabui kaumlemah seperti kami.”
Hah, dari mana anak ingusan bisa bicara secerdas itu? Pertanyaan itu rupanya membuat lelaki tua bertopi koboi itu mulai lebih serius. Mukanya serius, anak-anak malah ikut tegang, menunggu jawaban dari lelaki tua itu, seperti halnya menunggu keputusan hakim kepada terdakwah.
“Kalau kalian ingin tahu, maka akan saya beri tahu.”
Singkatnya, pertarungan mempertahankan layang-layang telah selesai. Berlanjut kepada lelaki tua bertopi koboi itu akan bercerita. Maka semuanya berteduh di pohon Manggifera.
“Kenapa kalian suka bermain layang-layang?” Tanya lelaki tua itu, pertanyaan umum, jadi semuanya boleh menjawab bergantian. Tapi biarpun jawaban mereka berbeda, intinya hampir sama. Dan Saya menuliskan jawaban yang terbaik.
“Karena sekarang musim kamarau, banyak angin, musim hujan tidak pernah merasakan ini.”
“Benar, apalagi membuat kertas ini bisa terbang. Kata ibu, biar kita berani bermimpi lebih tinggi.”
“Kata bapa,” lanjut anak yang lain. “Biar usaha bapa lebih lancer, rezeki terus ngalir.”
Lelaki tua itu pun tersenyum. Dibukanya topi koboi itu, terlihat serius.Anak-anak lebih serius.Panas matahari tak kalah serius. Pohon Manggifera lebih serius memayungi mereka dari sinar matahari; mendengarkan apa cerita selanjutnya.
“Seberapa suka kalian bermain layang-layang?” Lelaki tua itu kembali bertanya biarpun jawabannya pasti sudah ia tahu. Ya, begitulah anak-anak. Setiap musim dilewatinya tanpa beban.Musim hujan, mereka riang hujan-hujanan.Musim kemarau, mereka antusias bermain layang-layang.Apa di daerah Kalian masih ada yang bermain layang-layang?
“Sangat sukaa…” lantang mereka menjawab.
“Sebenarnya, tepatnya sebelumnya, ada seseorang yang tidak menyukai layang-layang dan musim kemarau.”
Pernyataan lelaki tua itu menjadikan suasana mendadak terasa sunyi, angin sedaritadi menampar-nampar rambut mereka kini tak dirasa, panas terik ikut sunyi, pohon Manggifera melongo.Tapi akhirnya, salah satu mereka bersuara.
“Siapa?Kenapa ia tidak menyukainya?”
Maka, lelaki tua bertopi koboi pun mulai bercerita:
Dulu, april adalah di mana pergantian musim hujan ke musim kemarau. Salah satu kampung bernama Kampung Tangis, kampungnya begitu subur. Saat musim hujan air begitu melimpah, dan ketika berganti ke musim kemarau, air masih dirasa cukup karena kampung mereka memiliki sebuah pancuran. Di sana terdapat pohon beringin yang besar dan menjulang tinggi, air yang menetes dari akar-akarnya merupakansumber mata air mereka. Seberapapun banyak orang menggunakan airnya, pancuran tak pernah kehabisan air, selalu ada.Dari terbit fajar sampai terbit lagi, pencuran tak henti didatangi penduduk.
Semua penduduk beraktivitas seperti biasa. Bertani, berkebun, berdagang, bersekolah dan anak-anak begitu riang bermain layang-layang di padang ilalang. Otong, adalah anak yang paling suka layang-layang.Ia memiliki berbagai jenis layang-layang. Misalnya layang-layang Janggan, Khagiati, Perisai, Musayeub, Dengung, Goan, dari berbagai daerahia punya, mulai dari ukuran yang kecil sampai paling besar. Ia hafal lagu layang-layang, bahkan ia tahu Benjamin Frankim meneliti bahwa petir membawa muatan listrik melalui layang-layang. Otong sudah seperti artis lokal terpilih nominasi pemain layang-layang terbaik.
Namun ada yang ganjil selama Otong menerbangkan layang-layangnya di padang ilalang. Di ujung barat Kampung Tangis, tepi padang ilalang, ia selalu melihat perempuan sebayanya bulak-balik membawa ember ke pancuran. Sebenarnya Otong tak acuh kepada perempuan itu, tapi melihat kondisi dan umur perempuan itu mengunjal ember, Otong sedikit merasa kasihan. Perempuan itu jarang sekali bermain atau berkumpul dengan teman sebayanya, oleh karena itu Otong tidak kenal dekat. Sepanjang kemarau perempuan ituterus membawa air dari pencuran. Karena Otong memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, maka di ujung kemarau ia mencoba mendekatinya.
“Jangan mengurusi urusan orang lain, urus saja layang-layang kamu,” tandas perempuan itu ketika Otong bertanya apa yang sedang dilakukannya.
“Saya nanya baik-baik!” kata Otong.
“Bukan urusan kamu!”
Saat itu Otong gagal mendapatkan informasi. Bukan Otong namanya kalau menyerah. Bila gagal mendekati orang secara langsung, Otong beralih ke strategi kedua, mencari tahu kepada orang lain tentang perempuan itu.
Akhirnya setelah data terkumpul, Otong dapat menyimpulkan. Di ujung barat Kampung Tangis rupanya berdiri satu rumah gubuk jauh dari penduduk.Jaraknya sekitar tiga belas kali panjang lapangan sepak bola nasional. Perempuan itu bernama Tangina. Dan jarak sejauh itu setiap musim kemarau ia selalu mengunjal air? Tapi sayang, musim kemarau sudah berganti, Otong sama sekali tak melihatnya. Dari informasi yang terakhir, kini ia tahu bahwa perempuan itu menunjukan dirinya ketika musim kemarau.
“Ya Allah, kasihan banget.” Potong salah satu anak itu. Cerita belum selesai, lelaki tua bertopi koboi kembali meneruskan.
Dari data yang Otong kumpukan lagi, bahwa di rumah gubuk itu hanya dihuni dua manusia, yaitugadis bernama Tangina dan ibunya. Biasanya, ibunya lah yang mengunjal air dari pencuran itu, tapi karena terjadi kecelakaan dan kakinya cacat, tak bisa berjalan lagi.Semuanya tahu bahwa ketika kemarau datang, di ujung barat Kampung Tangis tak ada setetes pun air.Maka Tangina lah yang menggantikan ibunya mengunjal air, untuk kebutuhan hidup sehari-harinya. Selama ibunya hanya mengurung diri di rumah, Tangina kini menjadi seorang ibu bagi ibunya.Ia sampai putus sekolah. Banyak teman-teman yang mencemooh Tangina.
“Musim kemarau adalah musim di mana anak-anak bermain layang-layang, entah lelaki atau perempuan, bukan cuma mengunjal air saja kerjaannya.”Ejek temannya yang sedang bermain layang-layang.
“Makanya bikin rumah tuh dekat penduduk, deket pancuran, jangan menjadi orang asing di kampungnya sendiri,” cemooh teman lainnya.
Berbagai macam lontaran membuat hati Tangina begitu sakit. Karena itulah, ia tak suka layang-layang, tak suka lelaki karena hanya bisa menyakiti hati perempuan, dan tak suka musim kamarau.
Maka kemarau musim depannya, ketika Otong tengah menerbangkan layang-layang, ia melihat Tangina di ujung barat sambil membawa ember. Ia akan membuktikan bahwa tak semua lelaki seperti itu. Anggap saja sedang mengujicobakan masa remajanya kepada kaum perempuan. Otong berani mendekatinya lagi.
“Mau apa lagi, ngejek saya?” bentak Tangina.
Sebuah awal yang tak diharapkan.
“Tidak, saya hanya ingin membantumu.”
“Lelaki baik pasti ada maunya.Setelahnya hanya bikin sakit. Tidak usah!” bentak Tangina, matanya berkaca-kaca. Otong jadi ingin berkaca juga, siapakah dirinya itu?Aku adalah artis lokal terpilih nominasi pemain layang-layang terbaik sekampung dan tidak pernah menyakiti perempuan.
“Kalau kamu selalu berpikir begitu, kapan kamu mau menerima lelaki baik?” Otong santai.
Singkat cerita, Otong dan Tangina mulai akrab. Hampir tiap hari ia bertemu. Otong sering membantumembawakan embernya. Mereka sering berbagi cerita. Tentang ibu Tangina yang sakit, rumahnya yang tak lama akan digusur karena itu bukan tanah miliknya, duka-duka ketika musim kamarau datang.
“Boleh aku minta bantuanmu, Otong?” mohon Tangina, Otong terperanjat girang karena baru pertama ia diminta bantuan. Biasanya ia yang meminta.Otong langung mengiyakan.
“Bolehkah kupinjam layang-layangmu?”
“Layang-layang? Tidak salah? Bukannya kau tidak suka layang-lauang?Untuk apa?”
“Aku hanya ingin mengirim surat kepada langit lewat layang-layangmu.”
Dan ditulis surat itu, mirip macam puisi:
Kepada Langit. Hujan adalah kehidupan. Kemarau adalah kehidupan. Maka, izinkan aku hidup, di kemarau musim depan. Lewat hujan saat ini yang kau turunkan.Izinkan aku melihat kau menangis sekali saja.Di kemarau ini. Karena aku tak ingin hidup seorang diri.
Maka diterbangkanlah permintaan penuh harapan itu lewat layang-layang Otong. Setelah layang-layang tinggi, dipotonglah benang layang-layang itu. Layang-layang terputus dan iamenuliskan bahwa siapapun yang mendapatkannya maka itu adalah miliknya. Sepanjang sejarah, hujan turun untuk pertama kalidi musim kemarau itu, langit tiba-tiba menangis. Dan karena itulah kampong mereka dinamai sebagai Kampung Tangis.
“Sudah selesai, Pak Tua? Oh, ceritanya mengharukan,” kata salah satu anak itu.
“Aku ingin menjadi si Otong!”
“Aku ingin menjadi orang yang mendapatkan puisi di layang-layangnya itu, pasti sangat beruntung.”
“Aku ingin menjadi si Tangina yang tangguh.”
“Eh, kamu kan lelaki masa mau jadi Tangina.”
Suasana di padang ilalang semakin berwarna. Anak-anak itu langsung beranjak dan mengambil layang-layang untuk diterbangkan dengan semangat yang menggelora. Ada harapan yang ingin diterbangkan. Ada impian yang ingin dilihat oleh seluruh dunia.
Lelaki tua bertopi koboi tersenyum.Layang-layang digenggamnya ikut tersenyum.Dari arah belakang ada seseorang memanggilnya.
“Hei, kau Pak Otong, kan? Lama sekali kau tak pulang ke rumah!”
Cirebon, 6 Juni 2015
0 Komentar