Istana-istana yang Dibuat dari Air Mata



Akhirnya Lelaki Berjubah Putih itu melihat jendela yang memancarkah kerlap-kerlip cahaya dari salah satu rumah. Tidak diragukan lagi bahwa ada kesedihan di dalam rumah itu. Ia harus mendapatkan air mata sebelum pemburu air mata lain mendahuluinya. Dari raut wajahnya, ia terlihat sangat bahagia lantaran melihat air mata kesedihan. Memiliki air mata itu adalah sebuah keharusan baginya agar dapat membangun sebuah istana.

***

Jauh dari hiruk-pikuk sebuah kota, di sebelah timur terdapat satu-satunya bukit yang indah, segala macam jenis pohon tumbuh nyaman di sana. Bunga-bunga liar bermekaran. Binatang melata hidup penuh kompetisi memperoleh makanan dan tumbuh semak-semak blukar subur layaknya surga bagi serangga-serangga yang hidup.
 

Orang-orang menyebutnya sebagai bukit perawan, karena sama sekali bukit itu tak pernah terjamah oleh para manusia. Artinya, tidak pernah ada manusia yang berani berwisata, penelitian, atau merusaknya,bahkan tidak ada yang berani mengambil satu daun pun.
 

Para penduduk mempercayai bukit itu menjadi kampungnya para hantu gentayangan. Pernah ada tukang ojek setiap malam pulang melewati bukit itu dan mendengar suara-suara aneh lelaki. Mulai dari suara jeritan, tangisan, sampai tawaan. Sampai kabar itu tersebar ke segala penjuru kota dan itulah kenapa tidak ada siapa pun yang berani menginjakkan kaki ke bukit itu.


“Kau tahu, suara itu berasal dari malaikat-malaikat lelaki yang patah hati,” cerita Chair sambil membolak-balikkan bukunya. Sama sekali tak ada niat untuk dibaca. Baginya, malam menjadi sempurna ketika bisa saling bercerita.

“Malaikat-malaikat lelaki patah hati?” kata Mahesa mengulang kalimat Chair. “Cerita yang aneh, konyol, itu di luar akal, Chair.”

“Memang, orang-orang sering menyebutnya hantu, tapi aku lebih suka menyebutnya malaikat.”
“Tidak peduli hantu atau malaikat. Bukankah ini malam yang paling indah untuk kita? Aku tidak ada waktu untuk mendengar cerita aneh lagi,” Mahesa menjauhkan kepalanya dari bahu Chair, “kau cukup diam dan membaca, aku hanya butuh bahumu saja.”


***
 

Langit menjadi lebih indah bagi Lelaki Jubah Putih itu. Ia berhasil menemukan air mata dari sepasang kekasih. Air mata yang tak pernah ia dapat sebelumnya. Jika sesampai ke bukit nanti, kampung rumahnya, ia membayangkan para lelaki pemburu air mata lainnya akan iri padanya. Bagaimana tidak, air mata kesedihan dan air mata kebahagiaan ia dapatkan dalam waktu dan tempat yang sama. Air mata tersebut akan menjadi permata yang memancarkan sinar yang menakjubkan, sebuah ramu air mata menjadi padatan permata. Kemudian padatan itu diukir hingga menjadi istana yang begitu elok nan indah dan kelak dibangun di surga.

 

Bagi para pemburu air mata, untuk menjadi permata yang indah butuh waktu sepuluh tahun. Di mana di dalamnya tercampur dari komposisi segala jenis air mata. Mulai dari air mata kesedihan dan air mata kebahagiaan. Bila salah satu tidak dimiliki oleh lelaki pemburu air mata, tuhan segera menghukumnya dan melemparkannya ke sebuah tempat yang penuh dengan kegelapan.
 

Para pemburu air mata hanya muncul malam hari. Mereka gunakan sayap-sayap untuk terbang menyisiri tiap-tiap rumah, tiap-tiap sudut penjuru di mana terdapat air mata. Kecepatan mereka melebihi kecepatan cahaya. Tak akan ada satu pun orang mampu melihatnya. Postur tubuhnya mirip kurcaci-kurcari dalam dongeng. Seseorang yang telah meneteskan air mata tidak pernah menyadari bahwa air matanya telah dicuri.


Namun, Lelaki Berjubah Putih itu termasuk salah satu pemburu air mata yang kurang beruntung. Sudah sepuluh tahun Lelaki Berjubah Putih itu hanya dapat mengumpulkan air mata kebahagiaan. Dari sekian ribu pemburu air mata, ia satu-satunya lelaki yang lamban dalam terbang dan lamban dalam memetik air mata untuk menampungnya ke dalam sebuah cawan. Kedua sayap yang dimilikinya begitu lemah. Hampir semua bulu-bulu sayapnya rontok, sehingga ia kalah bersaing dengan pemburu air mata lainnya untuk mendapatkan air mata.
 

Harga air mata kesedihan lebih bernilai daripada air mata kebahagiaan. Istana-istana yang dibangun di surga nanti lebih banyak yang terbuat dari air mata kesedihan. Semakin banyak air mata kesedihan yang didapat, kemegahan istana lebih menakjubkan. Di surga nanti bermacam buah-buahan tersedia dan air jernih mengalir begitu elok dari sungai ke sungai. Hutan bagi mereka adalah kegelapan yang nyata. Mereka berbondong-bondong mencari air mata sebagai syarat pergi ke surga. Dan malam ini merupakan malam terakhir keputusan bagi para pemburu air mata apakah ia akan mampu ke surga dengan membangun istana atau masih tetap hidup di hutan dengan kegelapan yang begitu menjijikan bagi mereka.
 

Karena kemampuan terbangnya yang cepat, gesit dan sigap, para pemburu air mata berhasil mengumpulkan semua air mata dari setiap rumah atau tangisan manusia. Hanya berbeda dengan Lelaki Berjubah Putih itu yang tidak mendapatkan air mata kesedihan, bahkan air mata kebahagiaan pun ia dapatkan sisa-sisanya saja.
 

Selama memburu air mata,ia hanya dapat melihat suatu kebahagiaan orang lain. Mengoleksi air mata kebahagiaan orang lain. Berbeda dari para lelaki pemburu air mata lainnya yang berhasil mengoleksi berbagai air mata. Baginya hidup tak selamanya harus dalam kebahagiaan, terkadang membutuhkan luka; suatu kesedihan.


***


Entah kesedihan apa yang dirasakan Chair ketika kepala Mahesa bersandar di bahunya. Seharusnya malam ini menjadi lebih indah, ketika perempuan yang dicintainya tepat berada di sampingnya. Mata Chair masih melihat lembaran buku novel tanpa membacanya. Sofa menjadi tempat ternyaman bagi keduanya bercerita dalam diam. Meski keduanya duduk di tempat yang sama, mungkin hatinya berada di suatu tempat yang berbeda.Jendela terbuka lebar dengan gorden berkibar-kibar hebat membuat angin leluasa masuk.

 

“Mahesa, aku tutup jendelanya dulu, ya, nanti kau masuk angin,” kata Chair dengan sedikit sentuhan di lengan Mahesa. Perempuan itu terlihat begitu nyenyak.
“Tidak perlu, di sampingmu aku sudah merasa hangat.”
“Sampai kapan kita akan seperti ini? Minggu depan kau akan segera menikah, aku sudah bukan kekasihmu lagi, masa depanmu sudah ada di depan mata. Kau hanya perlu sedikit melangkah lagi, Mahesa!” Namun Mahesa memeluknya lebih erat seolah tak ingin melepaskan lelaki yang dulu pernah dicintai.
 

Bagi Chair, ini kondisi yang tidak baik. Ia tahu kesedihan boleh ditumpahkan kepada siapa pun. Tapi melihat Mahesa berada dipelukanya membuat hatinya merasa bersalah. Ia hanya sebagian dari cerita Mahesa yang harus dilupakan. Mahesa telah menemukan lelaki lain untuk masa depannya.
 

Waktu tidak bisa diputar lagi. Meskipun masih memiliki perasaan yang sama kepada Mahesa, ia harus mengikhlaskan perempuan yang dicintainya untuk orang lain. Apalagi dalam waktu dekat mereka segera menikah. Situasi ini sama seperti melepaskannya saat perpisahan dulu.
 

“Mahesa,” Chair membelai lembut.“Jika kau masih bersamaku hanya akan memperpanjang masa lalumu.”


***


Mahesa menitikan air mata meski berusaha membendungnya. Air mata itu menjadi bukti cinta mereka telah menjadi kenangan meski keduanya sudah saling bertemu. Sebenarnya ia telah mempersiapkan air mata itu untuk Chair. Ia rindu kepada belaian halus jari lelaki itu ketika mengusap air matanya dulu. Jari-jarinya seperti pemetik kesedihan.
 

Kini jari-jari itu membuka lembaran novel dengan percuma. Novel itu telah berulangkali ditamatkan Chair. Dengan buku di tangannya membantu lelaki itu untuk bersikap diam dan tenang, layaknya percakapan yang lebih buruk dari kedua orang bisu. Tapi Mahesa sangat merasakan detak jantung Chair. Detak jantung yang dirindukannya selama tiga tahun.
 

 “Novel apa yang kau baca, Chair?”tanya Mahesa mengusap air matanya sendiri.
“Tentang perjalanan seorang nelayan yang mencari ikan marlin raksasa di tengah laut lepas selama delapan puluh empat hari. Namun ketika berhasil mendapatkannya dan mencoba membawa ke tepi pantai, hampir seluruh ikannya dimakan hiu.”
“Pekerjaan yang sia-sia.”
“Bukan, Mahesa. Inilah yang disebut kesabaran dan kesetiaan.”
Mahesa kini memeluknya lebih erat. Ia tak bisa lagi menahan deru hatinya yang ingin berteriak. Teriakan bahwa ia tak ingin lagi kehilangan orang yang dicintai.
“Tidak apa, menangislah sepuasnya, Mahesa, karena akan ada malaikat-malaikat yang akan memetik air mata.”
“Maksudmu malaikat patah hati yang di bukit itu?”
“Ya.”
“Chair, kau terlalu percaya dengan cerita Pemetik Air Mata. Itu hanya sebuah dongen dan cerita fiktif para peri yang memetik air mata kemudian disimpan di dalam goa dan menjadi kristal. Aku sedang menangis, mohon jangan mempermainkan kesedihanku. Aku butuh kau sekarang, bukan cerita pemburu air mata,” dengan mata sembab Mahesa memandang mata Chair dalam. Mata itu pernah mengisi dunianya yang indah. Mata mereka semakin dekat membuat jantung Mahesa berdetak seperti dulu ketika Chair mencium bibirnya dengan lembut.
“Kau tak pernah berubah,” ucap Mahesa mengakhiri ciuman panjangnya. Setiap Mahesa menangis, Chair selalu bercerita tentang malaikat-malaikat lelaki pemburu air mata. Mahesa mulai bosan dan bukan anak kecil lagi yang selalu didongengkan cerita seperti itu.
“Sudah larut malam, Mahesa, akan kuantar kau pulang.”
“Tidak. Izinkan malam ini saja untuk lebih lama denganmu sampai air mataku habis,” kini kepalanya bersandar di dada Chair bersama pelukan yang begitu erat.


***


Malam ini Lelaki Berjubah Putih itu terlihat lebih bahagia lantaran banyak air mata yang didapat. Wajahnya berseri-seri dan ingin sekali memamerkan hasil panennya kepada lelaki pemburu air mata lainnya. Bahkan saat ia terbang menuju bukit hampir air mata yang disimpan dalam cawan itu bertumpahan. Air mata yang berasal dari sepasang kekasih. Ketika terbang di langit ia bertingkah lebih girang dari malam-malam biasanya.
 

“Dari mana kau mendapatkan air mata itu?”
“Dari sepasang kekasih yang akan berpisah.”
“Tapi dari warna air mata itu, tidak sepenuhnya memiliki ciri-ciri bahwa itu air mata kesedihan. Air mata kesedihan itu lebih jernih. Mengeluarkan cahaya begitu terang ketika diletakan di kegelapan. Lihat ini,” para pemburu air mata mengeluarkan air mata miliknya. “Air mataku lebih bersinar seperti kilatan bintang jatuh. Sedang air matamu lebih redup seperti kesedihan yang palsu.”
“Tidak ada kesedihan yang palsu, air mata ini berasal dari kesetian hati kekasih yang terpaksa berpisah. Keadaan yang membuat merelakan. Sampai akhirnya mereka memiliki kebahagiaan dengan memilih jalannya masing-masing.”
 

Lelaki Berjubah Putih itu berhasil mendapatkan air mata kesedihan. Di ujung malam nanti air mata itu akanmenjadi permata-permata indah yang akan dibangun menjadi sebuah istanamegah di surga.

Cirebon, 5 Desember 2015

Posting Komentar

0 Komentar