Surat Lebaran untuk Mantan Kekasih




Apa kau masih ingat kapan kita terakhir bertemu? Yang aku ingat, saat itu senyummu cukup membuat hidupku terasa indah. Senyum yang belepotan cokelat dari ice cream yang kau makan. Jika harus memilih antara senyummu atau ice cream itu, akan kupilih keduanya karena sama-sama membuat hariku menjadi lengkap.
Masih banyak lagi kenangan-kenangan bersamamu yang tak mungkin semuanya kutulis. Sebab kenangan indah atau kenangan buruk, kedunya akan bermuara pada satu titik bernama kesedihan. Saat teringat hari-hari indah bersamamu, wajahku terasa bercahaya seolah ingin tetap tinggal di masa lalu, tapi jauh dari lubuk hati yang terdalam, semuanya terasa menyakitkan, sesak, dan kenangan itu tak akan terulang kembali. Hanya sebagai dokumentasi layaknya film pribadi yang kapan pun bisa diputar sesukanya. Sejak saat itulah aku paham, kesedihan bisa diciptakan kapan saja.
Kenapa, terlihat lucu, bukan? Seperti inilah hidup, kata sebagian orang, kehidupan memang penuh permainan dan sandiwara. Dan itu, pilihan. Tapi apakah aku pernah mencintaimu juga adalah pilihan? Jangan dijawab, itu pertanyaan kepada diri sendiri. Bagaimana pun, rasa itu ada karena kita pernah bertatap, bercakap, berbincang, bercerita, bergurau, dan hati kita sedang kosong, sedang merindukan kasih sayang.
Maka rasa itu dengan sendirinya menerima. Tapi sebentar, aku koreksi kalimatku dulu. Apa aku tidak salah menulis kalimat “pernah mencintaimu” di atas. Jangan berpikir yang tidak tidak dulu. Mungkin aku menulis itu karena kata ‘pernah’ sangat akrab dengan ‘perpisahan’.
      Perpisahan menjadi momen menakutkan bagi kita yang percaya pada kehilangan. Dan, aku seperti tak peduli dengannya. Dulu, aku percaya bahwa kita akan bertemu kembali. Tapi entah dengan kebahagiaan yang sama atau dengan kebahagiaan kita masing-masing. Entah dengan senyum yang sama atau senyum yang tercipta dari kebahagian yang berbeda. Saat itulah aku menyadari betapa percayanya aku dengan pertemuan atau betapa bodohnya aku yang telah melepaskanmu. Namun aku belum memastikan itu karena pertemuan kita masih rahasia. Kerahasiaan itu juga kenapa aku tetap bersabar, dan menunggu.
      Menunggu, menanti, mencari sebuah kepastian, semuanya terkadang menyakitkan dan lelah. Aku tahu kau perempuan kuat yang pernah kukenal. Tapi aku juga tak memaksa kau untuk tetap kuat. Setelah perpisahan, tujuan-tujuan yang pernah kita rancang bersama, kita tempuh dengan cara masing-masing. Tidak ada keterikatan lagi selain sisa rasa yang entah. Aku tidak tahu apa yang sedang kau rasakan sekarang.
Jika kau membaca tulisan ini, kau boleh membalasnya boleh juga tidak. Tidak sengaja membaca tulisan ini juga aku merasa senang. Mungkin kau membaca tulisan yang seharusnya tak perlu ditulis ini ketika sedang memakan ice cream, ketika bermanjaan dengan kucingmu, ketika berbincang dengan adik atau kakakmu, atau saat kau sedang duduk mesra dengan lelaki pilihanmu.
       Yang jelas, aku menulis ini saat tengah malam. Yang menunjukan pukul satu kurang delapan menit dan aku melihat jam itu dengan mata yang terasa segar tapi hangat. Tidak sendiri, aku ditemani lagu I Love You So, Maher Zein. Musik menjadi teman bincang menyenangkan saat sepi. Sama seperti ketika kita kehabisan topik pembicaraan dulu, musik menjadi alternatif apa yang kita akan sampaikan tapi tersembunyi dalam hati. Oh iya, satu lagi, di sampingku ada kopi yang menemaniku. Dari kepulan asapnya, sepertinya kopi ini ingin sekali menyapamu. Hehe.. lain kali mampirlah ke kamarku, lewat mimpi juga tak masalah. Tapi maaf, kalau kamarku kecil dan berantakan.
      Sebentar lagi lebaran. Aku masih menerka-nerka siapa yang lebih dahulu mengucapkan salam, mengirim pesan, bertanya kabar, dan saling meminta maaf. Apakah harus menunggu momen lebaran agar kita tahu kabar. Say hay melalui media sosial. Ah sudahlah, karena aku yakin kau baik-baik saja, tak perlu dikhawatirkan. Sebab ada doa-doa yang selalu menjaga seseorang yang memiliki kasih sayang. Semoga kau tetap tegar, kuat dan bahagia.  Dari hati yang terdalam, lewat tulisan ini, aku mengirim permohonan maaf atas khilaf dan kesalahanku. Serta terimakasih telah bersedia menerima kekuranganku dalam kehidupanmu.
Ah, sebenarnya, pada sunyi ini, aku ingin lebih lama berbincang denganmu, tapi alarm di handphone sudah berbunyi. Malam semakin larut dan pertandingan sepak bola seperti akan segara dimulai. Sebelum menghabiskan kopi  ini, izinkan aku bernyanyi sebentar.
I always knew after all these years. There’d be laughter there’d be tears. But never thought that I’d walk away. With so much joy but so much pain. And it’s so hard to say good bye. But yesterday’s gone. We gotta keep moving on. I’m so thankful for the moments. So glad I got to know you. I’ll keep like a photograph. And hold you in my heart forever. I’ll always remember you.

Salam.

Posting Komentar

0 Komentar