Sebuah pilihan





Malam ini adalah malam yang sangat memalukan bagiku.
Langit terasa sepi tanpa bintang, dan bulan yang terabaikan. Aku teringat pesan ibuku setahun lalu sebelum aku merantau ke ibukota ini, “ketika kamu kuliah di sana tanpa ibu di sisimu, berhati-hatilah terhadap malam. Malam di sebuah keramaian bisa menjadi menakutkan daripada di kampung ini, Nak.” Dari matanya itu aku menemukan kekhawatiran. Aku mengerti apa yang ibu katakan itu tak lain agar aku menjaga diri baik-baik.
Dan sepertinya kini aku kurang kehati-hatian terhadap pesannya. Malam ini adalah malam yang sangat memalukan dan mungkin tak bisa terlupakan olehku. Mulanya aku sama sekali tak berkeinginan pergi ke pesta ulang tahun Agas. Namun Ningsih, temanku, selalu memaksaku untuk hadir, sebab itu juga Agas adalah teman kelas kuliah kami dan semuanya diundang. Ah, ini memang terlalu lebay bagi seorang lelaki menggelar pesta kelahirannya, tapi dengan porsi seorang anak pengusaha kaya, apapun bisa terjadi.
“Ini ulang tahun Agas loh, masa kamu tidak datang,” kata Ningsih saat aku mengacuhkan undangan pesta itu. Aku paham dia berkata seperti itu karena memang Agas salah satu lelaki yang memiliki hubungan dekat denganku. Tapi aku tidak menganggapnya lebih. Sebatas teman belajar kelompok, kebetulan. “Wajib datang bila kita sudah diundang,” lanjutnya. Ya, mau bagaimana lagi.
Tak ada yang spesial dari pesta itu—sekedar makan-makan, memberikan selamat, bernyanyi, dan menyaksikan Agas meniup lilin merah, membosankan—namun pada akhirnya malam itu tak seperti yang aku bayangkan. Secara terang-tereangan Agas mengungkapkan isi hatinya padaku. Aku sangat terperanjat dan semua mata yang hadir di sana mengarah seolah menyerangku. Wajahku memerah dan sangat malu. Karena tak biasa diri ini menghadapi keadaan seperti itu.
Tanpa meninggalkan sepatah kata aku berlari meninggalkan pesta itu. Aku tidak peduli. Tidak peduli meski aku menghancurkan momen itu. Dengan air mata yang mengalir aku sudah meninggalakan keramaian mereka. Aku memperlambat lariku, tak peduli keadaan yang ada di sekitar. Namun dari belakang nampaknya ada seorang berlari mengejarku dan tangannya sudah berada di pundakku. Aku sangat mengenali tangan itu.
“Ratih, kamu ini kenapa aneh sekali pergi seenaknya saja?” dengan mengimbangi langkahku,  napas Ningsih tak beraturan. Aku masih berjalan dan menatap kedepan.
“Di mana-mana lelaki tampan dan kaya kalau bicara sekehendaknya saja,” aku mulai menatap gedung-gedung yang tinggi itu. Benar yang ibu katakan dulu, seharusnya aku berhati-hati terhadap malam.
“Aku tak mengerti apa yang ada di dalam kepalamu, Rat. Kamu tidak merasakan betapa Agas menyukaimu. Ah, kalau dibayangkan betapa romantisnya dia,” Hah, romantis. Semua orang juga bisa melakukan itu. Memang lelaki selalu mengandalkan kata-katanya untuk membuat perempuan menjadi tunduk. Aku melihat kedua tangan Ningsih mengepal dan matanya terpejam. Kini aku lebih tidak mengerti apa yang ada di dalam kepalanya. “Ratih, kenapa kamu tidak menerima cintanya saja? Kamu itu bodoh sekali, semua perempuan menginginkan itu, dia tampan dan kaya..” tambahnya sambil membuka matanya.
Menerima cintanya? Entah tanpa permisi bayanganku kembali pada masa SMA dulu. Di tengah lapangan yang terik, seluruh tubuhku terasa lemas, ketika itu mata menjadi gelap. Tanpa sadar aku sudah terbaring di sebuah ruangan. “Hampir tiga jam kamu pingsan, sebelum olahraga seharusnya kamu sarapan dulu” kata Ita, temanku, ini yang membuatku terkejut. Aku pingsan tiga jam, yang benar saja? Tapi kepalaku masih terasa penat untuk dibayangkan. Apa dia menemaniku selama aku terbaring di sini? Bukannya hari ini ada ulangan matematika? Dari mukanya ia mengerti apa yang aku pikirkan.
“Tenang, Rat. Aku masih mengikuti ulangan. Selama kamu belum sadar Ali yang menemanimu di sini. Ia terus memaksa. Aneh sekali anak itu, demi menemanimu ia rela meninggalkan ulangan,” aku hanya terdiam meski sedikit terkejut, kepalaku masih terasa sakit.
Tapi esoknya aku berterimakasih pada Ali, meski yang dilakukannya memang sungguh aneh dan konyol. “Aku tidak sanggup meninggalkan perempuan sendirian,” alasannya ketika aku bertanya.
Entah kenapa di hatiku terasa ada mata air yang menetes. Entah kenapa. Namun ia langsung mengajakku untuk melakukan ulangan susulan. Aku merasa selama itu ia berlaku baik padaku. Di kelas ia pernah meminjamkanku buku ketika aku lupa membawanya. Akibat ulahnya, ia rela menerima sanksi oleh gurunya. Pernah juga ketika langit mulai gelap, sekolah sudah mulai sunyi, hujan turun dan tak ada angkot untuk pulang, ia rela mengantarku pulang dengan basah kuyup sebab jas hujan satu-satunya di pakai olehku. Entah kenapa ia selalu ada di sisiku ketika ada sesuatu yang tak baik terjadi, tanpa skenario sebelumnya.
Dari sikap yang pernah ia lakukan, aku merasa ia memiliki rasa padaku. Aku mulai sadar bila ini terus berlanjut akan terjadi sesuatu yang tak diharapkan olehku, “ketika dua magnet berada dalam jarak yang lebih dekat, maka daya tariknya semakin kuat. Aku tak ingin itu terjadi sampai bila waktunya sudah tiba.” Aku yakin ia paham yang aku maksud, ia sadar bahwa aku ingin menjaga jarak dengannya. Ketika ia bertanya kenapa, aku menjawab demi kebaikanku. Aku yakin ia pasti mengerti meski tak sepenuhnya menerimanya. Saat itulah aku mulai merancang skenarioku sendiri. Ketika kami sudah lulus dan aku merantau ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah, ia mengatkan seolah tanpa merasa berdosa, “aku akan menunggumu.”
***
Dari dua lelaki ini—Ali dan Agas—aku bisa menyimpulkan keduanya. Ali sesosok lelaki yang banyak ‘melakukan’ sesuatu tanpa harus banyak mengeluarkan kata-kata, sedang Agas sesosok lelaki yang selalu bermain ‘kata-katanya’ sebagai senjata. Aku yakin dari sifat keduanya bisa memabukan setiap perasaan perempuan manapun. Tapi aku adalah  perempuan yang memiliki sebuah pilihan. Boleh jadi ketika itu—saat SMA yang pernah dekat dengan Ali—aku bisa saja menjalin hubungan dekat dengan Ali. Dan terhadap Agas, boleh jadi aku menerima—yang katanya—cintanya di pesta yang memalukan itu.
Bila aku harus memilih, bukan berarti memilih salah satunya di antara keduanya adalah sebuah pilihan. Tapi tidak memilih di antara keduanya pun adalah sebuah pilihan. Aku memilih untuk sendiri, pilihanku. Sebab di belakangku masih ada seorang ibu, ia masih menginginkan cahaya dari anak satu-satunya ini tanpa mengkhianatinya. Ia rela ditinggalkan jauh olehku untuk menuntut ilmu. Suatu untuk mencapai kebahagiaanku, juga demi kebahagiaan dirinya.
Air mataku tanpa terasa mengalir dan menetes mengembalikan aku di tengah kota malam ini. Aku segera menyekanya agar Ningsih tak menyadarinya. Kini aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Tapi sepertinya ia masih menikmati hembusan malam tanpa bintang ini. “Ratih, kosan kita kan masih sangat jauh, kamu ingin kaki kita mati perlahan karena bengkak, hah? Mending kita balik lagi ke pesta itu.” Huft.. sejak dulu anak ini tidak pernah berubah. Aku lalu menghentikan angkutan umum.

Cirebon, Januari 2015

Posting Komentar

0 Komentar