Negeri Para Tikus


    Warga kini diresahkan oleh kedatangan tikus-tikus yang menyerang kampungnya. Awalnya, mereka masih bersikap acuh, tikus-tikus itu layaknya tikus-tikus rumah yang mencari sisa-sisa makanan di dapur, ruang makan, dan di tempat-tempat sampah. Namun semakin kemari tikus-tikus itu kian bertambah serta bentuknya yang sebesar kelinci dewasa. Bukan hanya berjalan merangkak, mereka bahkan mampu melompat-lompat dan berjalan tegak layaknya manusia. Tentunya tikus-tikus itu membuat kampung semakin gaduh dan menjadi bahan perbincangan warga dari mulut ke mulut.
    “Tikus-tikus ini pasti datang dari hutan bekas kebakaran dan penebangan kemarin.”
    “Ya, wabah ini adalah kutukan Tuhan karena ulah tangan para manusia yang perusak.”
    “Benar sekali, karena habitat mereka sudah binasa, tikus-tikus itu mencari kehidupan ke kampung kita.”
    “Tidak mungkin, di hutan tidak mungkin hidup tikus sebesar rubah ini. Pasti ini adalah jelmaan para perampok, penjudi, pemerkosa dan pelacur yang sudah mati terkubur atau yang dibuang ke dalam jurang di tepi utara kampung.”
    Berbagai spekulasi terlontar dari warga sampai membuat urat nadi terlihat kencang. Tapi perdebatan tiada akhir itu hanya membuang-buang waktu, sebab semakin hari tikus-tikus telah menyebar ke seluruh penjuru kampung. Ribuan tikus sebesar rubah dan hitam beraroma bau tengik yang menjijikan dapat mudah terlihat di mana-mana. Sepanjang comberan, halaman rumah, melompat dari pohon ke pohon, dan sepanjang jalan yang baru diaspal kini digrayangi oleh tikus-tikus. Di mana-mana ada tikus!
    Semua warga semakin kewalahan. Mereka lebih sibuk menyelamatkan diri di dalam rumah. Warga yang berani keluar rumah, para tikus bak algojo itu langsung menggrogoti. Apapun mereka makan yang selayaknya bisa disantap. Ternak-ternak di kandang serta-merta dilahap, kambing-kambing dan sapi-sapi kini hanya menyisakan tulang-belulang dan kulitnya saja, bahkan ada yang sampai tanpa sisa. Ayam-ayam dengan sekejap ditelan. Ladang-ladang para petani dibabat habis. Tikus-tikus itu terus membabibuta apapun yang bisa di makan layaknya makhluk kelaparan yang kerasukan setan keserakahan.
    Rumah-rumah warga—pintu dan jendela—meraka dilapisi dengan baja-besi agar tikus-tikus tak mampu memasuki rumah. Celah-celah yang memungkinkan tikus-tikus itu masuk segera ditambal dengan beton-beton. Di  dahan-dahan pohon, di atas genteng semua dipenuhi tikus yang merayap dari kabel-kabel. Rumah warga yang masih seperti gubuk yang terbuat dari kayu rapuh, berhasil ditembus oleh para tikus. Tak sedikit manusia terbunuh hanya diakibatkan oleh para tikus. Ya, tikus-tikus yang rakus  dan mematikan tanpa ada sedikit pun nurani.
    Hampir warga tak bisa berbuat apa-apa. Hampir seminggu tikus-tikus menyerang kampung. Belum ada satu pun cara membasmi tikus-tikus itu. Kampung mereka seperti negeri para tikus. Tak ada kesempatan sedikit pun warga sekedar untuk keluar rumah, sekali keluar dipastikan ia akan mati.
    Kini warga lebih panik lantaran persediaan makanan di rumahnya mulai habis. Ternak-ternak dan ladang di sawah sebagai persediaan makanan sudah lenyap. Kelaparan telah mencabik-cabik perut mereka. Penyakit-penyakit aneh-aneh juga semakin menyerang. Apakah mereka akan mati kelaparan hanya karena kedatangan para tikus itu?
Di antara kepanikan itu, sekelebet warga melihat sebuah bayangan dari luar rumah yang terlihat dari pori-pori jendela. Kilatan dan cahaya terpantulkan dari bayangan-bayangan itu. Warga dilanda penasaran lantaran apa yang sedang terjadi di luar.
    “Apa itu?”
    “Apa yang sedang terjadi di luar sana?”
    “Jangan-jangan dia…”
    “Siapa dia.. kalau bicara jangan setengah-setengah..”
    “Ini tidak salah lagi, dia adalah si pembuat perkakas di kampung kita setelah lima tahun lalu diasingkan dan diusir dari kampung.”
Salah seorang dari mereka sedikit membuka celah jendela untuk memastikan siapa dan apa yang terjadi diluar.
    “Benar sekali, dia lelaki si tubuh kebal itu.” Tiba-tiba tikus meloncat ke celah jendela yang dibuka yang membuatnya terkejut.
    “Tutup rapat saja jendelanya,” saran seorang dari mereka panik. “Jadi siapa lelaki kebal itu saya baru mendengarnya?”
    “Lima tahun lalu, di kampung kita dihebohkan oleh seorang lelaki pembuat pedang, golok, cerulit, kampak, dan alat pemotong lainnya. Dia dijuliki sebagai Ahli Perkakas. Dari alat-alat yang telah dibuatnya mengeluarkan kilatan dan cahaya yang begitu menyilaukan. Bila digunakan, dengan sekali tebasan saja, pohon besar yang berumur ratusan tahun langsung tumbang oleh alat-alatnya. Ia seperti memiliki ilmu hitam. Kepala kampung kita mulai mencium aroma buruk darinya, apalagi perkakas itu diperjualkan. Sangat diyakinkan alat-alat itu akan menimbulkan kejahatan bila dimiliki oleh orang yang tidak tepat. Apalagi dimiliki oleh para pencuri kayu, yang memungkinkan akan membasmi pohon-pohan yang ada di hutan kita. Jadi, warga sepakat untuk mengusir dia dari kampung ini.”
    “Tapi kenapa ia tiba-tiba datang ke sini?”
    “Entahlah, mungkin ia satu-satunya penyelamat kampung kita dari tikus-tikus ini.”
    Kepanikan, ketakutan, dan penasaran melanda hati para warga kampung dengan datangnya lelaki itu. Ada secercah harapan dari lubuk hati. Di luar sana, bayangan dan kilatan cahaya terlihat begitu sibuk, yang tidak lain tidak bukan ialah datangnya seorang lelaki dan sebilah samurai di tangannya. Terjadi duel hebat antara para tikus dan lelaki bersamurai itu. Ketika tikus-tikus langsung menyerang dengan loncatan dan gigitannya, dengan eloknya samurai itu memotong tubuh tikus. Tangan yang memainkan samurai begitu cakap. Gaya menyerang dan mempertahankan diri dari tikus, macam ninja yang sedang bertarung melawan naga raksasa. Warga yang tak mampu berkemampuan bertarung seperti dirinya pastinya akan kalah dikerubungi tikus-tikus menjadi santapan makan siang ini.
    Di tengah pertarungan dahsyat itu tiba-tiba datang tikus raksasa sebesar gajah yang paling besar. Tidak lain adalah raja dari para tikus. Sekali loncat dan sabitan oleh ekornya, membuat lelaki bersamurai itu terpental hebat. Melihat samurai bercahaya yang dipakai oleh lelaki itu membuat si raja tikus terlihat sangat mengenalinya.
    “Jadi kau yang membuat alat-alat terkutuk itu yang diperjualkan kepada makhluk manusia kota. Aku mendengar sendiri pembicaran manusia-manusia, mereka datang dari kota dan menceritakan darimana mereka mendapatkan alat-alat itu. Karena alat-alat itulah pohon-pohon di hutan kami ditebang tanpa sisa. Kini hutan tempat tinggal kami seperti sebuah neraka, tidak layak untuk menjadi sebuah kehidupan. Aku ingin balas dendam kepada siapapun yang menyebabkan kerusakan di bumi, termasuk para manusia rendahan seperti kalian.”
    Lelaki bersamurai yang terpental itu beranjak.
    “Bagaimana pun kalian harus pergi ke tempat asal kalian. Dunia kita berbeda,” kata lelaki itu.
    “Tapi kalian, para manusia yang pertama menyebabkan kerusakan. Apapun yang telah diperbuat selalu menanggung risikonya. Dan kamilah yang akan melenyapkan para manusia dan membuat dunia untuk para tikus.”
    “Untuk itu aku ada di sini dan menyelesaikan semuanya. Aku bertanggungjawab atas alat-alat yang telah kubuat.”
    “Apa? Tanggungjawab? Sungguh menjijikan sekali manusia, bertanggungjawab setelah menyadari semua kesalahannya. Dengar manusia, semuanya sudah terlambat,” dengan serangan mulutnya yang dipenuhi gigi-gigi tajam dan kuat, lelaki itu menahannya dengan samurai. Benturan dan gesekan antara pedang dan gigi itu menghasilkan percikan-percikan api.
    “Tidak pernah ada kata terlambat bagi siapapun yang masih mempercayai sebuah harapan.”
    Tepat dari arah atas sebuah sabetan ekor raja tikus itu menyambar lelaki bersamurai, tapi lelaki itu menyadari dan segera menghindarnya ke arah belakang, nyaris telapak kaki melayang tanpa menyentuh tanah. Sebuah gerakan kedua tangan memegang samurai berada di atas kepala, ia hentakan samurai itu menghasilkan sebuah tembakan yang bersinar namun tajam. Dengan reflek gesitnya raja tikus menghindari. Alhasil serangan lelaki itu tak mampu mengenai raja tikus dan menghantam sebuah rumah hingga terbelah dua. Rupanya rumah itu terdapat dua manusia, para tikus yang mengetahui langsung menyambar mereka.
Melihat para tikus menyerang kedua warga, lelaki bersamurai berusaha menolongnya, namun raja tikus dengan kecepatan kilat langsung berada tepat di hadapan lelaki itu.
    “Apa kau melupakan bahwa aku lawanmu?” Dengan sebuah serangan cakaran, lelaki itu berhasil menahan. “Bahkan kau mau menolong mereka yang telah mengusirmu dari kampung ini?”
Pertanyaan itu membuat lelaki bersamurai terdiam. Sejauh mana si raja tikus mengetahi semua tentangnya? Wajah yang penuh kemarahan mendadak datar. Mendengarkan ucapan mengusir dari kampung seperti lebih tajam dari pedang yang dibuatnya. Sakit hati yang telah berusaha dilupakan teringat kembali. Tapi itu hanya sebuah masalalu, lelaki itu tak akan mengungkit-ungkit sesuatu yang telah terjadi yang menyakitinya. Tapi nampaknya ia masih belum sepenuhnya melupakan, belum sepenuhnya merelakan.
    “Kenapa kau diam, manusia?”
    Segenap kekuatan penuh, lelaki itu mengayunkan pedangnya, seperti sebuah serangan dengan kekuatan yang teramat dahsyat. Kilatan cahaya terus terpancar dari pedangnya. Raja tikus itu tahu akan terjadi sesuatu yang besar, maka dengan kekuatan di kaki raja tikus pun tiba-tiba mengeluarkan kilatan hitam.
    Keduanya akan terjadi beradu kekuatan yang begitu besar. Mungkin kekuatan itu mampu menghancurkan setengah kampung. Warga yang menyaksikan duel mereka bercampur tegang. Harapan-harapan demi kemenangan lelaki itu terus didoakan oleh para warga. Sebuah serangan yang akan menjadi keputusan keberlangsungan hidup manusia dan tikus. Dan akhirnya  lelaki itu menghujamkan pedangnya serta raja tikus mengehentakan cakarnya.
    “SUDAH KUBILANG, AKU TIDAK LAGI HIDUP DI MASA LALU…”
    “DAN AKULAH YANG AKAN HIDUP DI MASA DEPAN MENYINGKIRKAN PARA MANUSIA RENDAHAN…”
    Ledakan besar terjadi. Warga yang menyaksikan pertarungan mereka tak melihat apa yang terjadi dengan lelaki bersamurai dan raja tikus itu. Sebab ledakan dan cahaya yang dihasilkan oleh kedua kekuatan itu membuat penglihatan mereka terganggu. Maka, saat cahaya mulai redup dan debu-debu mulai menghilang, warga akan mengetahui pemenang dari pertarungan sengit itu.
    “Lihat, dia terkapar dan sepertinya tidak bisa bergerak.”
    “Apakah dia telah kalah?”
    “Tidak mungkin! Pasti akan terjadi mimpi buruk bagi manusia apabila ia tidak mampu melenyapkan para tikus itu.”
Melihat raja tikus bangkit dan lelaki bersamurai tergeletak, seperti berada dalam mimpi buruk bagi warga yang menyaksikannya, bagi dunia.
    “Bahkan, lelaki kebal dari senjata apapun dikalahkan oleh tikus itu.”
Rasa takut kembali menyerang warga setelah ada harapan dengan datangnya lelaki bersamurai. Kini terbayang-bayangan mimpi buruk terhadap kehidupan manusia. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh mereka. Jeritan, tangisan dan rasa lapar tak dihiraukan lagi oleh para tikus. Manusia kini berada dalam ambang keputusasaan.
    “Lalu siapa lagi yang mampu mengalahkan tikus-tikus itu?”
Sekali pukulan si raja tikus menghancurkan rumah-rumah. Ia terus melenyapkan rumah-rumah itu sebagaimana yang dilakukan manusia meruskan hutan. Dalam hitungan menit, sudah tak ada lagi jeritan dan tangisan. Tikus-tikus semakin menyebar ke segala penjuru termasuk perkotaan. Di mana-mana kini ada tikus. Di jalan raya, perumahan mewah, rumah ibadah, bahkan tikus-tikus itu kini sudah berada di kantor-kantor pemerintahan.

sumber gambar: baltyra.com

Posting Komentar

0 Komentar