Perempuan Terakhir yang Telanjang di Dapur


Saat terbangun dari ciuman kau selalu menyebut namaku yang hurufnya hanya sedikit. Kau lupa bahwa malam itu sedang merayakan ulang tahun kucing kau yang satu hari. Ketika dunia memberi kesenangan hanya untuk kita berdua, siapa tahu kucing kau mengatakan bahwa kita makhluk paling egois.

Usia kau tak jauh berbeda dengan aku, setiap menyebrangi malam, mata kau selalu mengajaku ke dapur. Kata kau, dapur adalah tempat paling romantis berbincang walau sedang sibuk. Kau sibuk mengiris jari aku, aku sibuk memeluk kau.

Aku tidak merasa sakit karena kau mengiris dengan jari kau sendiri. “Jarimu terlalu berharga sebab ia akan merasa kehilangan ketika aku tak lagi ada,” kata kau. Saat itu, aku tak lagi menemukan pisau di dapur maupun di kamar tidur.

Esok pagi kau lebih dulu bangun dari dingin. Aku tak lagi merasa dingin sebab kau adalah baju tidur yang setiap malam kukenakan. Aku yang lahir dari seorang tukang jahit membayangkan kau sebagai perempuan penyabar dan penyuka anak-anak dan tidur lebih lama.

Pagi ke delapan setelah aku terbangun; kau di sini adalah keinginan kau sendiri, kau masih menganggap kau sendirian, kau masih menganggap kau belum mencintai orang lain, kau menganggap aku satu-satunya yang berkata kangen.

Aku pun menganggap aku masih mencintai kau meski pada akhirnya kau adalah baju yang kau lepaskan sendiri dari tubuhku.

Posting Komentar

0 Komentar