Kepada Perempuan yang Terakhir Menangis di Bumi


Kau baru saja membaca judul yang sedikit panjang dari seorang lelaki yang tiap malam bekerja keras menghitung bintang atau menunggu purnama bersinar tanpa matahari.

Kini aku paham bagaimana merasa kehilangan tanpa sempat memiliki. Aku merasa dekat denganmu tanpa sempat melihat matamu. Aku merasa diriku baik-baik saja sedang hati terluka. Aku merasa kau ada meski semuanya hanya andai.

Aku lupa kapan terakhir kau membuatku tersenyum tapi aku selalu ingat kau perempuan terakhir menghadiahkanku air mata. Pertemuan kita hanya sebatas lambaian awan kepada bumi. Percakapan kita tak lebih dari angin yang menitipkan air hujan kepada pucuk daun. Kau selalu gagal menjadi perempuan yang membuatku mudah melupakan.

Kesedihanku tak lain berupa awan mendung di malam hari. Kau tak akan melihat sampai-sampai benar kakimu menginjak beranda. Bahkan kau mulai ragu-ragu dengan cuaca itu. Karena bintang, langit, awan, dan angin yang lebih lambat menjelma seseorang yang ada di kepalamu.

Jika kau sudah mulai suntuk menunggu, kau boleh menutup jendela dan mematikan lampu. Tidur adalah satu-satunya cara untuk menyerah. Mencuci baju bekas parfum dariku dan menjauhkan lagu menjelang tidur adalah cara untuk melupakan.

Jika semuanya begitu berat, kau boleh meneteskan air mata.

Posting Komentar

0 Komentar