Seseorang yang Kupanggil Kau


Hidup tanpa ada rasa penyesalan adalah bagian dari keinginanku. Namun setelah mengenalmu, penyesalan itu tiba-tiba hadir dalam diriku; aku gagal menjadi yang terbaik untukmu. Bahkan hanya untuk mengetahui kabarmu, keadaanmu, gelisahmu, sedihmu, aku tak benar-benar ada, tak benar-benar mampu. Semakin mencintaimu semakin aku merasa bahwa aku bukanlah siapa-siapa bagimu.

Perpisahan adalah hal yang paling kubenci. Perpisahan selalu mengatakan bahwa kau bukan satu-satunya untukku, Padahal aku selalu berusaha agar kau menjadi satu-satunya dalam hidupku. Tapi lagi-lagi, kebodohan, rasa egois dan emosi kita membuat perpishan itu terjadi. Kenapa? Kenapa? Aku bertanya.

Aku selalu berusaha ada untukmu, namun kau sama sekali tak pernah menganggapku, selalu mengabaikanku. Ketika aku bertanya apakah kau menganggap bahwa aku hadir dalam hidupmu, kau mengiyakan. Tapi aku tak butuh pengakuan itu, yang kubutuh hanyalah kehadiranmu dalam hidupku sampai aku merasakannya. Dan rasa itu tak bisa dipaksa dan dibohongi.

Mungkin memang aku belum sepenuhnya mengenalmu lebih dalam, tentang masa lalumu ataupun rencana masa depanmu. Tapi jika tak keberatan kuingin tahu itu semua agar kita saling memahami, saling melengkapi. Namun aku juga tak pernah memaksa karena kenyamanan datang dari hati, dan aku tak akan memaksa hatimu. Seandainya cara terbaik menemukan bahagia dengan cara pergi, akan kulakukan meski sangat berat.

Pergi dan melepaskan bukanlah pertanda menyerah. Jika bersama hanya membuat luka, apakah itu tak ada bedanya dengan pejuang yang bodoh. Aku memaklumimu, tapi sampai kapan kau ingin menang sendiri dan aku yang selalu mengalah. Jika kau ingin dimengerti, apakah aku tak ingin? Kebersamaan itu tentang kita, bukan tentang hanya aku ataupun hanya kau.

Kau tahu, di belakang kata ‘kau’ yang kutulis, di kepalaku selalu menerjemahkannya dengan kata ‘adek’, atau lebih mudahnya ‘dek’, 'dik', atau apalah itu namanya. Panggilanmu. Lucu ya. Panggilan itu sudah membuatku nyaman, sudah menganggap bahwa kau benar-benar hadir di dalam hati. Dan kuharap, sebelum kata nyaman tak pernah lagi ada kata pernah.

Seandainya pertemuan kita tak pernah terjadi, aku tak perlu kembali merasakan perpisahan atau berusaha melupakan. Tapi aku tak bisa menghindar dari cinta datang tak pernah tepat waktu. Apakah aku mencintaimu di waktu yang salah? Di tempat yang salah? Kepada seseorang yang salah? Jika aku harus melupakanmu, apakah semudah kau melupakanku? Benar, lebih mudah mencintai semua orang daripada harus melupakan satu orang.

Mungkin saat ini kita tak bisa saling mengerti, memahami dan mengasihani. Tapi siapa tahu, perpisahan adalah cara Tuhan untuk mempertemukan kembali agar kita menjadi lebih  dewasa. Maafkan jika kehadiranku merenggut bahagiamu yang kau rawat selama ini.

Posting Komentar

0 Komentar