Gagal Menikah setelah Diminta Uang Dapur 20 Juta


Baru saja saya posting di status WhatsApp informasi bakso dari Instagram, teman saya langsung mengajak pergi ke warung bakso. Meskipun bukan tempat bakso yang berada di postingan Instagram, tidak masalah, toh ia yang ingin nelaktir.

Terkadang, rejeki bisa datang dari status WhatsApp.

Akhirnya kami langsung pergi dengan berjalan kaki. Tidak jauh dari rumah. Sepanjang jalan kami berbincang. Tanpa ponsel di tangan.  Malam yang indah. Tapi saya selalu kepikiran ada pesan yang belum  dibalas. Ah, biarkan saja.

Sesampai di warung bakso, tentu saja, saya memesan bakso, campur, dan saya sangat menyukai pedas. Teman saya memesan mie ayam. Saya tidak suka mie ayam, setiap beli selalu tidak habis. Sambil menunggu pesanan datang, kami banyak berbincang.

Masuklah pada pembahasan, “kalau facebook messenger, ketika mengirim pesan ada tanda sudah terbacanya apa engga?” Katanya sambil berusaha mengeluarkan ponsel di saku celana. Dari raut wajahnya, sepertinya sedang mendadak tidak baik-baik saja.

Untuk memastikan, saya minta izin melihat pesannya itu. Saya nyaris terkejut terheran-heran tapi sudah biasa. Ia mengirim pesan kepada seseorang tapi tampaknya tidak pernah ada balasan. Dilihat dari tanggalnya, hampir setiap hari ia menulis pesan dan tanpa ada respon. Sungguh manusia yang tidak patah semangat.

Sederhananya, ia sedang berusaha mendekati orang itu untuk menjadi kekasihnya. Pedekate bahasanya. Niatnya memang ingin menikahinya. Tapi saya juga heran, kenapa tidak lewat WhatsApp saja untuk chatingan. Eh, ternyata, katanya, nomornya sudah diblokir. Haish!

Saya tidak berani bertanya lebih jauh hubungan mereka. Sepertinya sungguh rumit dan saya tidak siap untuk mendengarkan curhatannya apalagi memberikan nasihat, apalagi dalam kondisi perut sedang lapar. Tapi dari situ, kita tahu, penolakan seseorang itu sederhana, cukup mengabaikan chat merupakan sebuah bentuk penolakan dari seseorang. Jadi seharusnya justru kita yang harus peka akan hal itu.

Setelahnya, entah apa yang akan dilakukan. Saya juga merasa kasihan padanya, sudah hampir kepala empat belum juga menikah. Mungkin satu-satunya tujuan dalam hidupnya adalah, sesegera menikah mungkin. Ia sudah cukup lelah jika bertemu dengan hari raya Idul Fitri dengan pertanyaan-pertanyaan membosankan.

“Tapi tahu gak? Katanya dia (tidak saya sebutkan namanya) gagal nikah loh!” katanya seperti sedang menghibur dirinya sendiri bahwa ada nasib orang lain yang lebih buruk dari dirinya.

Tentu saja, saya bertanya kenapa bisa gagal menikah. Ia menjawab bahwa sang perempuan meminta uang dapur sebanyak 20 juta. Karena dirasa terlalu berat dan tidak ada uang sebanyak itu, maka mereka memilih untuk tidak jadi menikah.

“Dari awal sudah nuntut gitu, gimana ke depannya nanti,” katanya seperti merasa sebal (dari awalnya dia memang sudah merasa sebal).

Saat itu, saya lebih banyak mendengarkan daripada bicara. Memang wajar perempuan ingin ini itu dan terlihat sempurna. Tapi sepertinya, perihal ekonomi, nasib lelaki (yang gagal menikah itu) tidak lebih baik dari pengusaha tambang. Andai lelaki itu punya 80 juta, mungkin sudah bisa menikahi 4 perempuan sekaligus.

Perihal gagal menikah juga membuat kita jangan berpikir buruk terlebih dahulu, mungkin itu jalan terbaik yang diberikan Allah sesuai al-baqarah ayat 216 yang sering kita dengar dan pakai.

“Sudah, nikah mah sama yang mau saja, yang mau nerima apa adanya. Ngga menyusahkan satu sama lain,” celetuk abang bakso (dalam bahasa sunda) sambil membawa pesanan kami.

Bakso sudah di depan mata, perbincangan itu sudah tidak ada artinya lagi bagi saya. Sebelum menyantap, saya mengeluarkan ponsel. Membuka kamara untuk memotret sang bakso, lumayan untuk dibuat status WhatsApp. Tapi karena malam hari dan pencahayaan yang kurang, saya tidak jadi foto dan akhirnya tidak membuat status kalau saya sudah makan bakso.

Posting Komentar

0 Komentar