Sebuah Usaha Menjadi Tiada


1.
Keras kepala tidak menyelamatkan apapun. Ia ruang kosong yang membisingi dirinya sendiri. Ia jendela yang tidak membutuhkan matahari pagi. Setiap kali terjatuh ia bangkit lagi; mencintaimu memang sekeras kepala itu, tidak tahu kapan harus berhenti.

Aku menulis ini pukul 22:19, sambil menunggu pesan terakhirku yang belum juga kau balas. Sementara, kafe sudah mulai tutup. Pelayan itu melirikku setiap kali melihat jam tangan. Berharap aku pergi tanpa harus diminta. Jika kau tahu, seperti itu kiranya perpisahan yang menyakitkan.

Laptop kututup tanpa dimatikan. Barangkali waktu terpanjang bukanlah menunggumu datang, tetapi mengembalikan semua yang pernah hilang.

2.
Aku kembali ke kafe itu dan kembali menulis, maksudku, mencari kau yang tidak lagi kutemukan di mana-mana selain dalam puisi. Aku datang lebih awal sebelum pelayan kafe itu mengubah jam tangannya menjadi jam kerja yang menyibukan dirinya sendiri.

Di kursi yang sama aku mengembalikan bekas luka. Membiarkan bayangan tentang dirimu menyatu dengan malam, menyerah dan mengalah.

Sampai pukul 21:28, puisi ini tiba-tiba berhenti di kalimat terakhir dan mengatakan, “Keinginan terkadang menipu. Aku rindu kau yang dulu atau aku merindukan diriku sendiri sebelum mengenalmu.”

3.
Aku dan senyummu pernah saling jatuh cinta. Sesekali terperangkap dalam pelukan panjang dan ciuman yang membuatku ingin berhenti menulis. Membayangkan kita adalah sepasang anak yang berhenti bertanya, tidak banyak bicara.

Di perjalanan menuju pulang, aku tidak bisa membedakan perasaanmu yang mati atau ingatanku yang tidak ingin pergi. Atau seperti inilah masa depan, diciptakan dari kepergian-kepergian. Atau terperangkap dalam masa lalu jika dijadikannya sebagai rumah.

Hampir seratus meter aku berjalan menjauhi kafe itu. Tidak ada angin dan hujan, langit dan lampu kota melihat diriku seperti seorang yang asing. Seorang asing yang baik ketika ia bisa menolong dirinya sendiri saat ia tidak mampu mengeluarkan seseorang yang ada di dalam tubuhnya, kata seorang remaja yang menghibur diri.

4.
Besok pagi, aku harap kau membaca puisiku di meja itu. Membaca diriku yang pernah kau kenal. Jangan bertanya apakah sudah melupakan, sebab tidak ada yang benar-benar melupakan.

Perpisahan terbaik adalah ucapan selamat tinggal—tanpa harus dengan melihat jam tangan. Waktu tidak akan pernah mengubahmu menjadi kau yang dulu. Aku salah telah menganggapmu sudah berubah, tetapi aku baru sadar melihatmu menjadi seseorang yang telah utuh, sesuatu yang betul-betul ada pada dirimu.

Pada akhirnya, aku adalah lelaki tua dan kau laut dan ikan marlin ialah cinta yang berhasil kita bawa sampai ke pantai, terluka lalu tiada.

*
Lelaki Tua dan Laut (The Old man and the Sea) adalah novel yang ditulis Ernest Hemingway, sangat direkomendasikan untuk kau baca.

Posting Komentar

0 Komentar