Minggu Pertama Desember


 

hari pertama: aku masuk ke dalam matamu. lalu kau menarikku keluar dalam keadaan utuh, kecuali seluruh pakaianku. o ya, aku lupa bahwa kau mengatakan hal ini; pakaian terbaik adalah sebuah pelukan dan pelukan terbaik ialah memeluk diri sendiri. sampai di sini aku mengerti, pekerjaanku seharusnya sudah selesai. hanya saja aku seseorang yang keras kepala.

hari kedua: hari senin. aku tidak mengerti mengapa orang-orang sibuk sekali membenci hari senin. “ya bagus, ternyata ada yang lebih mereka benci selain kamu,” katamu. “kecuali aku.”. suatu hari kau juga akan membenciku, membenci perasaan yang tidak bisa kau pilih sendiri, dan tentu saja, membenci dirimu sendiri dan hal-hal yang pernah kau cintai. kemudian kita ingin sekali tertawa sambil meneteskan air mata. entah air mata apa. entah. entah. sebab benci dan cinta akan selalu berdampingan dan huruf n selalu berada di tengahnya.  seseoang pernah berkata, jika kau masih membenci hari senin, kau cukup hilangkan huruf n terakhirnya.

hari ketiga: selamat pagi bisa menjadi ucapan perpisahan. jangan lupa sarapan bisa menjadi peringatan terakhir. hati-hati di jalan bisa menjadi perhatian bahwa kau sudah mempersiapkan ucapan selamat tinggal. perasaan nyaman menjadi jebakan jika kita bermain-main dengan perhatian. mari kita bermain lagi, kau yang menjadi hati, aku yang menjadi peran. atau kau sebenarnya tidak menyukai aku sebagai imbuhan.

hari keempat: tidak perlu aku kasih tahu hari apa. hari ini menjadi hari kita berlomba siapa yang lebih terluka. atau mengukur waktu, mengukur jarak. kita mengukur seberapa bulan kita bertemu bukan seberapa lama kita bertahan. kita mengukur seberapa panjang kita berpisah bukan seberapa dekat hati kita melangkah. kita saling mencintai tapi cinta tidak mencintai kita. berpisah adalah satu-satunya menuju langit dan hujan terus berdatangan. kau anggap inilah akhir dengan menulis kata maaf sebagai persembunyian. aku bersembunyi di balik matamu, memeluk segala yang kau rahasiakan. sampai aku keluar. bersama air matamu.

hari kelima: aku menulis dan menganggap orang-orang bahwa aku terlihat sedang menangis. semua yang kutulis bukan berarti tentang aku dan semua yang kutulis bukan berarti tentang kau. “tapi ketika kamu menulis tentang orang lain itu adalah kamu,” katamu. menyembunyikan kesedihan sendiri menggunakan orang lain memang menyenangkan. malu aku jika menyebutnya ini sebuah puisi. kata-kata sudah tak bermakna bila tanpa kau di dalamnya. atau kita adalah sebuah film yang diakhiri dengan kata tamat. saat lampu dinyalakan, semua mata berkaca-kaca. seluruh penonton berdiri dan tepuk tangan menganggap bahwa kesedihan perlu dirayakan. ketika mereka keluar dari pintu bioskop, semuanya seolah tidak terjadi apa-apa. mulut-mulut saling melempar senyum yang pura-pura. di lain hari, mereka berharap kembali melihat kepedihan yang sama.

hari keenam: sampai tengah malam, aku tidak bisa tidur. pikiranku terlalu sibuk dan berisik. hampir satu malam aku berpikir apa yang kau pikirkan. aku berpikir di siang yang cerah tiba-tiba turun hujan. kebahagiaan bisa berubah dalam hitungan detik. ketika mengakhiri sebuah hubungan lebih mudah dari menurunkan hujan, tentu aku belum siap untuk menyediakan sebuah payung. bagimu, akhir adalah awal. mengenal untuk kembali tidak saling mengenal. aku terus berpikir dan aku berpikir dan aku berpikir karena terlalu perih jika aku merasa.

hari ketujuh: aku menulis puisi sebab kau tidak akan pernah lagi mendengar kabarku. aku menulis puisi sebab aku tidak akan pernah lagi mengetahui rasa sakitmu. aku menulis puisi sebab aku ingin menceritakan hari-hari yang cerah dan hujan deras. aku menulis puisi sebab aku merindukan suaramu. aku menulis puisi sebab tidak akan pernah ada pertemuan. aku menulis puisi sebab … sebab  … sebab … sampai tidak ada lagi penyebab.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

      Hapus